Jepang Peringati 70 Tahun Uji Coba Nuklir AS di Pasifik
Ayahnya Shimomoto merupakan korban terdampak dari uji coba nuklir AS di Bikini Atoll. Sang Ayah tengah melaut sebagai nelayan saat…
Tujuh puluh tahun setelah uji coba nuklir "Castle Bravo” atau Kastil Bravo di Bikini Atoll, Setsuko Shimomoto akan melakukan perjalanan ke Kepulauan Marshall untuk mengambil bagian dalam acara peringatan percobaan ledakan bom atom yang dia yakini telah menewaskan ayahnya tersebut.
Uji coba yang dilakukan pada 1 Maret 1954 ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan oleh para ilmuwan yang mengembangkan bom hidrogen itu. Hingga kini, "Castle Bravo” tetap menjadi senjata nuklir paling kuat yang pernah diledakkan oleh militer Amerika Serikat (AS).
Kegagalan dalam mengantisipasi besarnya ledakan, dikombinasikan dengan angin kencang di Pasifik tengah, mengakibatkan radioaktif jatuh ke lautan, termasuk ke sekitar 1.000 kapal nelayan Jepang yang berada di area tersebut.
Kapal yang paling terkenal yang terkena dampak terbesar adalah Daigo Fukuryu Maru, atau "Lucky Dragon 5”, di mana 23 awaknya mengalami berbagai keluhan yang terkait dengan paparan radiasi, mulai dari mual, sakit kepala, hingga sakit pada mata mereka. Salah satu korbannya adalah penyiar radio Aikichi Kuboyama, yang meninggal enam bulan setelah insiden akibat penyakit komplikasi terkait paparan radiasi.
Kisah Toubei Oguro
Kapal "Lucky Dragon 5” kini dipajang di sebuah museum di Tokyo. Namun, kapal-kapal nelayan Jepang lainnya yang membawa total sekitar 10.000 pelaut, sebagian besar justru telah terlupakan, dan Shimomoto ingin mengubah itu.
"Saya merasa penting bagi saya untuk pergi ke Kepulauan Marshall karena ini adalah peringatan 70 tahun, dan 10 tahun yang lalu, Matashichi Oishi dari Lucky Dragon berpartisipasi dan memberikan pidato dalam upacara itu," kata Shimomoto kepada DW.
Lebih lanjut, Shimomoto mengatakan bahwa "saya ingin menyuarakan ketakutan akan radiasi," seraya menambahkan, "saya juga ingin semua negara di dunia bergabung dengan Konvensi Senjata Nuklir, yang melarang pengembangan, kepemilikan, penggunaan, ancaman, dan pemindahan senjata nuklir."
Lebih luas lagi, Shimomoto bermaksud untuk memberikan dukungan kepada warga Hiroshima dan Nagasaki yang selamat dari bom atom tahun 1945. Dia juga ingin memperoleh dukungan atas serangkaian kasus hukum yang diajukan oleh para nelayan Jepang atau keluarga mereka yang masih hidup terhadap pemerintah Jepang, agar dapat menerima kompensasi dan bantuan bagi keluhan medis mereka.
AS berikan 'uang kompensasi'
Ayah Shimomoto, Toubei Oguro, adalah seorang nelayan yang saat itu berusia 30 tahun dan tengah berada di atas kapal tuna Jepang, Dai-Nana Dai Maru, ketika perangkat "Castle Bravo” meledak pada pukul 6.45 pagi waktu setempat di anjungan buatan Bikini Atoll.
Enam tahun setelahnya, dalam buku catatan pelaut miliknya, Oguro dinyatakan telah diberhentikan karena penyakit yang tidak dapat disebutkan.
Pada usia 60 tahun, Oguro telah menjalani operasi pengangkatan tiga perempat bagian perutnya akibat kanker. Namun, setelah kematiannya pada 2002 di usia 78 tahun, pemeriksaan medis komprehensif terhadap seluruh awak Dai-Nana Dai Maru dan kapal-kapal lain yang beroperasi di lepas pantai Bikini Atoll pada tahun 1954 itu, baru dilakukan.
Hasil tes mengonfirmasi adanya kelainan kromosom, meskipun upaya para nelayan untuk mendapatkan pengakuan dan kompensasi atas keluhan medis mereka belum juga membuahkan hasil.
Pada tahun 1955, AS telah membayar sebesar $2 juta (sekitar Rp31,4 triliun) ke Jepang, sebagai "uang kompensasi" tetapi menolak untuk mengakui tanggung jawabnya, sehingga pada akhirnya masalah ini diselesaikan di tingkat politik.
Pemerintah Jepang juga telah membayar kepada masing-masing awak kapal Lucky Dragon sebesar 2 juta yen atau $12.278 (sekitar Rp193 juta) dengan kurs saat ini. Tetapi, Jepang tidak memberikan apa pun kepada para nelayan yang berada di kapal-kapal lainnya. Para kritikus mengatakan bahwa Tokyo ingin mengubur masalah ini secepat mungkin untuk menghindari permusuhan dengan AS.
Jepang: Paparan radiasi 'tidak merusak kesehatan'
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Tokyo mengakui bahwa para awak dari 10 kapal benar terpapar radiasi, namun pihaknya bersikeras bahwa dosis paparan itu "tidak mencapai tingkat yang dapat merusak kesehatan mereka."
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.