Setumpuk masalah di balik investasi China - 'Demam nikel membuat pemerintah kehilangan akal sehat'
Ketika pemerintah menggaungkan program hilirisasi nikel, sejumlah ekonom menilai Indonesia sejatinya semakin ketergantungan pada investasi…
PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) bertugas mengelola Kawasan Industri Morowali, yang kini memiliki tiga klaster pengolahan nikel yang masing-masing memproduksi baja nirkarat, baja karbon, dan komponen baterai kendaraan listrik.
Menurut bank data perusahaan terbatas Kementerian Hukum dan HAM, Tsingshan menguasai secara tak langsung 66,25% saham PT IMIP per 2023.
Sisa 33,75% saham PT IMIP dikendalikan PT Bintang Delapan Investama, bagian dari Bintangdelapan Group, entah secara langsung ataupun tak langsung.
Selain itu, Tsingshan berkongsi dengan sejumlah mitra dari China untuk membangun Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah, Maluku Utara, sejak 2018.
PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) bertugas mengurus kawasan ini, yang diproyeksikan bakal menarik investasi US$15 miliar hingga 2024 dan memiliki luas area 5.000 hektare per 2022.
Per 2023, Tsingshan mengontrol secara tak langsung 46% saham PT IWIP, sementara produsen baterai Contemporary Amperex Technology asal China memegang 6%.
Ada pula Zhenshi Holding Group dan Huayou Holding Group, yang masing-masing menguasai tak langsung 24% saham PT IWIP.
Zhenshi adalah konglomerat dengan cakupan bisnis luas, dari produksi baja hingga pengembangan properti. Di sisi lain, bisnis utama Huayou adalah produksi bahan baku baterai litium. Keduanya juga berasal dari China.
Sementara itu, kebutuhan bijih nikel untuk diolah berbagai perusahaan di Kawasan Industri Weda Bay dipenuhi oleh PT Weda Bay Nickel.
Sejak 2017, Tsingshan menguasai secara tak langsung 51,3% saham PT Weda Bay Nickel. Eramet SA, perusahaan tambang Prancis, mengendalikan 38,7% dan BUMN lokal PT Aneka Tambang memegang sisa 10%.
Apa risiko ketergantungan Indonesia terhadap investasi China?
Saat ekonomi China terguncang, Indonesia bisa dengan cepat terkena dampaknya, kata Mohammad Faisal, ekonom dan direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), pada Kamis (25/1).
Menurut Faisal, tanda-tandanya mulai terlihat dari realisasi investasi China dan Hong Kong pada 2023, yang turun 21,4% dibanding tahun sebelumnya.
Ini terjadi setelah pertumbuhan ekonomi China melambat ke 3% pada 2022 dari 8,4% pada 2021. Meski angkanya sempat menyentuh 5,2% tahun lalu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan China bakal berkisar hanya di 4% dalam dua tahun ke depan.
"Saat ada ketergantungan besar, kalau terjadi sesuatu yang mengganggu perekonomian negara asal investasi tersebut, ini akan mengganggu kita juga dengan lebih kuat, lebih cepat," kata Faisal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.