Minggu, 5 Oktober 2025

Setumpuk masalah di balik investasi China - 'Demam nikel membuat pemerintah kehilangan akal sehat'

Ketika pemerintah menggaungkan program hilirisasi nikel, sejumlah ekonom menilai Indonesia sejatinya semakin ketergantungan pada investasi…

BBC Indonesia
Setumpuk masalah di balik investasi China - 'Demam nikel membuat pemerintah kehilangan akal sehat' 

Ekonom Bhima Yudhistira mengatakan hal serupa. Ketika ekonomi China bermasalah, katanya, aliran investasi ke Indonesia dan volume perdagangan dua negara itu dapat menurun sehingga neraca dagang, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah bisa tertekan.

Proyek-proyek China di Indonesia pun bisa kena imbasnya, termasuk berbagai smelter nikel.

"Kapasitas produksi smelternya bisa diturunkan perlahan," kata Bhima. "Lalu misalnya sudah sepakat mau ekspansi, mau bangun ini-itu, tiba-tiba enggak jadi."

Banyak proyek China di Indonesia merupakan bagian dari program BRI yang pertama diluncurkan pada 2013, termasuk Kawasan Industri Morowali, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Sumsel 1, dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Selama 10 tahun berjalannya BRI, China mengklaim telah berinvestasi di sekitar 3.000 proyek dengan nilai lebih dari US$1 triliun di 150 negara.

Per 2021, ada 71 proyek infrastruktur BRI di Indonesia dengan nilai total AS$20,3 miliar, menurut kajian lembaga riset AidData asal Amerika Serikat.

Namun, 31 proyek di antaranya disebut "bermasalah", entah karena memicu kontroversi, merusak lingkungan, adanya dugaan korupsi, atau kinerjanya tak sesuai harapan.

Sejumlah pengamat dan pakar internasional pun khawatir soal jeratan utang proyek dari BRI, terutama melihat apa yang terjadi di Sri Lanka.

Konstruksi Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dimulai pada 2008 dengan bantuan utang US$1,3 miliar berbunga tinggi dari China.

Karena kesulitan membayar utang, akhirnya Sri Lanka sepakat menyerahkan 70% saham pelabuhan itu kepada BUMN China dengan masa sewa 99 tahun sejak 2017.

Hasil riset AidData yang dirilis pada 2021 menunjukkan, Indonesia memiliki "utang tersembunyi" kepada China sebesar US$17,28 miliar.

Istilah ini merujuk pada utang yang datang dari transaksi bisnis antara perusahaan atau bank milik negara maupun perusahaan patungan dan swasta. Karena itu, ia tidak dicatat atau dikelola sebagai utang pemerintah.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo pun sempat menjelaskan melalui akun X-nya, "utang tersembunyi" itu memang tidak dikelola pemerintah, tapi jika wanprestasi tetap berisiko "nyerempet pemerintah".

Karena itu, Faisal mengatakan Indonesia harus cermat mengantisipasi segala risiko sejak awal serta menghindari investasi berkualitas rendah dari China, termasuk yang berpotensi membawa masalah sosial dan lingkungan.

Dua masalah itu, kata Bhima, kerap hadir dalam proyek-proyek yang melibatkan investasi China. Namun, tambahnya, pemerintah seakan tutup mata, meski banyak proyek yang ada tidak efektif menghasilkan efek berganda di perekonomian domestik.

"Karakteristik investasi China itu, karena ingin cepat, dia mengimpor banyak sekali bahan baku besi dan baja dari luar negeri," kata Bhima.

"Makanya, apa korelasinya antara konstruksi smelter yang masif itu dengan BUMN atau perusahaan lokal di sektor besi dan baja? Nggak ada."

Belum lagi, investasi di sektor pengolahan bersifat padat modal, sehingga cenderung membutuhkan banyak tenaga kerja hanya di awal saat masa konstruksi, tapi tidak saat telah beroperasi, tambah Bhima.

Apa dampak sosial, lingkungan, dan kesehatan dari hilirisasi nikel?

Pemerintahan Presiden Jokowi memberi "karpet merah" bagi investasi China tanpa memedulikan setumpuk masalah yang terjadi di lapangan, termasuk sengketa lahan, isu kesehatan, dan kerusakan lingkungan, kata Koordinator Jatam Melky Nahar.

"Demam nikel membuat pemerintah kehilangan akal sehat," kata Melky.

"Kemudahan-kemudahan yang diberikan untuk masuknya investasi China ke Indonesia, terutama di rezim kedua Jokowi, menimbulkan kerusakan yang sangat masif akibat pembongkaran nikel dan pengolahannya di kawasan industri."

Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mencatat sejumlah kasus sengketa lahan yang terjadi di wilayah produksi dan pengolahan nikel, termasuk Morowali dan Halmahera Tengah yang telah menjadi kawasan industri.

Di Desa Bahomakmur di Morowali, misalnya, warga setempat berkonflik dengan CV Sentosa Abadi, kontraktor tambang PT Bintangdelapan Mineral yang merupakan bagian dari Bintangdelapan Group.

Warga menganggap perusahaan mengintimidasi dan menyerobot lahan bersertifikat mereka untuk pembangunan bengkel alat berat, kantor, dan tempat tinggal karyawan.

Sebaliknya, perusahaan melaporkan warga ke polisi dengan tuduhan pengancaman, pemerasan, dan pencemaran nama baik serta menggugat warga ke pengadilan dengan tuntutan ganti rugi Rp50 miliar.

Di Halmahera Tengah, laporan AEER menunjukkan pembebasan lahan berskala besar sejak dimulainya pembangunan Kawasan Industri Weda Bay pada 2018 memicu sengketa lahan dan hilangnya ruang hidup warga, terutama di tiga desa: Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf.

Hingga 2023, banyak warga masih menolak tawaran ganti rugi lahan senilai Rp9.000 per meter dari PT IWIP. Mereka menilai harganya mestinya berkisar di Rp30.000–Rp220.000 per meter. Apalagi, sejumlah lahan merupakan kebun produktif yang sehari-hari digarap warga untuk mencari nafkah.

"Warga desa-desa terdampak menghadapi 'kebuntuan' dalam mencari sumber penghidupan karena selain hilangnya kebun, warga juga semakin kesulitan mencari ikan," tulis AEER di laporan "Dilema Halmahera di Tengah Industri Nikel" yang dirilis Juli 2023.

"Hilangnya terumbu karang dan hutan bakau di sekitar pantai akibat adanya reklamasi di sekitar wilayah PT IWIP untuk pembangunan bandara, area perkantoran, serta PLTU berujung pada semakin menjauhnya area nelayan untuk menangkap ikan."

Operasi PLTU di kawasan industri di Morowali dan Halmahera Tengah pun disebut telah membuat udara tercemar dan memicu lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), warga Desa Fatufia di Morowali paling terdampak dari operasi PLTU di kawasan industri. Debu batubara disebut kerap masuk ke rumah bila warga tidak menutup rapat pintu dan jendela.

"ISPA jadi soal utama warga," tulis Walhi dalam "Catatan Akhir Tahun 2021".

Sementara itu, hasil wawancara AEER dengan petugas Puskesmas Lelilef di Halmahera Tengah menunjukkan adanya peningkatan kasus ISPA dari rata-rata 300 per tahun sebelum masuknya PT IWIP hingga 800-1.000 per tahun per Juni 2023.

Di sisi lain, operasi tambang nikel di Indonesia telah mengakibatkan deforestasi hingga 78.948 hektare sejak 2014, menurut analisis LSM Satya Bumi bersama Walhi.

Akhirnya, tata kelola penambangan dan pengolahan nikel yang buruk justru berkontribusi terhadap perubahan iklim, meningkatnya polusi udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati, tulis Satya Bumi dan Walhi dalam laporan "Neo-Ekstraktivisme di Episentrum Nikel Indonesia" yang dirilis Oktober 2023.

Padahal, tujuan besar pemerintah mengembangkan industri hilir nikel adalah mendorong penggunaan kendaraan listrik untuk memerangi perubahan iklim.

Di luar itu semua, masalah perlindungan tenaga kerja pun banyak disorot, terutama setelah salah satu tungku smelter di Kawasan Industri Morowali meledak pada 24 Desember 2023.

Kejadian itu menewaskan setidaknya 21 orang dan membuat 38 lainnya cedera.

Segala masalah yang muncul harusnya sudah cukup untuk mendorong pemerintah menerapkan moratorium pembangunan smelter nikel baru, kata Melky.

Pada Oktober 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memang mengatakan sedang mempertimbangkan rencana moratorium smelter nikel.

Namun, ini hanya untuk smelter dengan teknologi pirometalurgi yang mengolah bijih nikel saprolit berkadar tinggi, yang hasilnya kerap digunakan untuk produksi baja nirkarat.

Alasannya pun untuk menjaga pasokan bijih nikel di masa depan, bukan mencegah kerusakan lingkungan lebih jauh dan menata ulang industri hilir nikel.

"Mestinya kan moratoriumnya berangkat dari laju perluasan kerusakan yang demikian gila-gilaan," kata Melky.

"Kerusakan itu mesti dihentikan. Salah satu caranya adalah dengan moratorium, kemudian melakukan audit atas seluruh kerusakan serta melakukan penegakan hukum dan pemulihan."

Bila kondisinya tidak berubah, kata Melky, rakyat Indonesia terpaksa harus menanggung akibatnya di masa depan.

"Jadi, saya kira 2045 itu bukan 'Indonesia Emas', tapi 'Indonesia Cemas'."

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved