Rokok elektrik bakal jadi 'bom waktu kesehatan' di Indonesia - Mengapa penggunanya semakin tinggi dan apa bahayanya?
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) meminta pemerintah segera menerbitkan aturan yang membatasi penggunaan rokok elektrik karena…
Dari situ, sebanyak 11,9% menyatakan pernah menggunakan rokok elektrik dan 3,0% aktif memakai rokok elektrik.
Alasan mengonsumsi rokok elektrik ada beberapa.
Di antaranya karena menganggap kadar nikotin lebih rendah dari rokok konvensional, ada rasa, dapat menggunakan trik asap, dan mengikuti tren.
Hal lain, karena rokok elektrik dinilai tidak adiktif dibanding rokok konvensional, tidak menyebabkan kanker, dan ada izin dari orang tua.
"Kalau rokok elektrik tidak adiktif dan tidak menyebabkan kanker, ini persepsi yang salah," tegasnya.
Apa fakta rokok elektrik?
Dokter Agus Dwi Susanto mengatakan rokok elektrik dan rokok tembakau sama-sama ada nikotinnya.
Nikotin yang terkandung dalam rokok elektrik mencapai 90%. Meskipun diakuinya ada beberapa jenis rokok elektrik yang tidak ada kandungan nikotinnya.
"Tapi fakta sampai 90% rokok elektrik ada nikotinnya tak bisa dibantah," ucapnya.
Selain nikotin, rokok elektrik juga terkandung bahan karsinogen yang berasal dari cairan atau liquid.
Terakhir, rokok elektrik dan rokok tembakau juga sama-sama mengandung bahan toksik yang sifatnya iritatif serta merangsang terjadinya peradangan anti-inflamasi.
"Baik asap dari rokok konvensional maupun uap dari rokok elektrik mengandung partikel halus dan itu merangsang iritasi dan menginduksi peradangan anti-inflamasi."
"Jadi rokok elektrik dan konvensional sama-sama bikin ketagihan dan menimbulkan bahaya kesehatan."
Ia lantas membeberkan penelitian yang dilakukan pada 2018 terhadap 71 subjek laki-laki yang memakai rokok elektrik.
Hasilnya sebanyak 76% ketagihan dan ditemukan kadar kotinin urin sebesar 276, nano gram pada pengguna rokok elektrik yang rutin.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.