Sabtu, 4 Oktober 2025

Haris Azhar dituntut empat tahun penjara, tim kuasa hukum: 'alarm bahaya untuk demokrasi'

Jaksa menuntut aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti masing-masing empat dan 3,5 tahun penjara dalam kasus dugaan pencemaran…

BBC Indonesia
Haris Azhar dituntut empat tahun penjara, tim kuasa hukum: 'alarm bahaya untuk demokrasi' 

Sementara, sejumlah LSM dan perorangan yang tergabung dalam 'Koalisi Masyarakat Sipil' (KMS) menyatakan, dakwaan atas Haris dan Fatia Maulidiyanti merupakan "kabar buruk bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia".

"Dilanjutkannya kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia," kata KMS, dalam rilisnya yang dimuat di situs Kontras.

Dikataka pula, Fatia dan Haris juga merupakan korban judicial harassment dimana perangkat hukum digunakan untuk mempidanakan masyarakat yang aktif berpendapat, kata KMS.

Dalam amar dakwaannya, Haris didakwa melakukan dugaan tindak pidana tersebut bersama dengan koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam sebuah video wawancara dan diunggah di Youtube, berjudul 'Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1!’.

Dalam persidangan itu, Haris didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, serta Pasal 310 KUHP.

Dakwaan: Haris disebut ingin mengelabuhi masyarakat

Dalam persidangan, JPU mengatakan, dugaan tindak pidana itu diawal saat Haris memiliki niat untuk mengangkat isu yang membahas tentang kajian cepat dari Koalisi Bersihkan Indonesia mengenai bisnis pertambangan di Blok Wabu, Papua, yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.

Setelah memperoleh hasil kajian tersebut, kata JPU, Haris yang merupakan Direktur Eksekutif Lokataru melihat nama Luhut yang memiliki popularitas sehingga timbul niat dari terdakwa untuk mengangkat topik mengenai Luhut menjadi isu utama di akun Youtubenya.

“Dengan tujuan untuk menarik perhatian dan mengelabuhi masyarakat dengan cara mencemarkan nama baik saksi Luhut,” kata seorang JPU.

Lalu Haris mengundang Fatia dan Owi sebagai narasumber untuk melakukan wawancara yang berdurasi lebih dari 26 menit di kantor Hakasasi.id, Jakarta.

Percakapan tersebut kemudian diunggah di akun Yutube Haris Azhar pada 20 Agustus 2021.

Percakapan apa yang diduga mencemarkan nama baik dan fitnah?

Dalam dakwaan, JPU menyebut terdapat dua percakapan yang disebut mengandung unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

Pertama pada menit ke 14.23 sampai 14.33 adalah:

Fatia: “Nah, kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita.

Haris: Siapa?

Fatia: namanya adalah Luhut Bisar Panjaitan

Haris: LBP, the lord, the lord

Fatia: Lord Luhut.

Haris: Oke.

Fatia: Jadi Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini.

Percakapan kedua terjadi dari menit 18.00 hingga 21.00 yang disebut JPU bahwa Fatia menyatakan Luhut sebagai penjahat, kata JPU.

Fatia: Ia, dan lucunya juga Bang dari orang-orang yang ada di sini, di circle ini, mereka juga yang jadi tim pemenangan Jokowi di 2015.

Haris: Iya, kalau Lord Luhut kita jelas.

Haris: Ok. Nah, pening juga bayanginnya. Jadi masyarakat di Intan Jaya itu dikirimin tentara sama polisi. Eh, yang level prajurit ada di sana operasi, sementara jenderal-jenderal atau purnawirawan-purnawirawan itu mengambil keuntungan atas dengan dalam bentuk mendapatkan konsensi untuk mengekspolitasi gunung emas tadi itu sih. Sementara kalau menurut Owi kan jelas, beberapa kelompok muda, anak-anak muda disana itu menolak, tapi kelompok mudanya dituduh sebagai KKB (Kelompok Kekerasan Bersenjata) juga ya.

Haris: sebagaian besar nama-nama itu terlibat dalam tim pemenangan Jokowi, bagaimana caranya perusahan-perusahan itu kita ambil alih. Tidak ada ya dalam riset itu.

Fatia: Enggak dong

Haris: hahaha

Fatia: Bagimana dong?

Haris: tidak ada ya.

Fatia: Jadi penjahat juga kita.

JPU mengatakan perkataan Fatia bukanlah merupakan pernyataan akurat yang diperoleh dari hasil kajian cepat karena dilakukan dengan itikad buruk untuk menyerang nama baik dan kehormatan Luhut Binsar Panjaitan.

Apa reaksi Luhut saat mendengar percakapan itu?

JPU juga menyampaikan reaksi Luhut saat mendengarkan video percakapan antara Haris dan Fatia tersebut.

“Terlihat geleng-geleng kepala, nampak emosi dan menyampaikan ini keterlaluan, kata-kata Luhut bermain tambang di Papua ini tendensius, tidak benar dan sangat menyakitkan hati saya. Saya merasa nama baik dan kehormatan diri saya diserang,” kata JPU menyampaikan reaksi Luhut.

Lalu, kata JPU dalam dakwaan, Luhut juga menyatakan, “di negeri ini tidak ada kebebasan berpendapat yang absolut, semua harus dapat dipertanggungjawabkan.”

‘Kabar buruk bagi demokrasi’

Sejumlah LSM dan perorangan yang tergabung dalam ‘Koalisi Masyarakat Sipil’ menyebut ‘kriminalisasi’ terhadap Haris dan Fatia merupakan kabar buruk bagi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

"Kasus kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris merupakan kabar buruk dan ancaman serius bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia," ujar Anggota KMS yang juga Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Rezaldy dalam keterangan tertulis.

Sementara itu, pakar hukum tata negara dan juga Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) dari Universitas Andalas Feri Amsari yang ikut dalam aksi solidaritas KMS mendukung Haris dan Fatia di Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengatakan, langkah Luhut melaporkan aktivis kemanusiaan itu merupakan upaya represif yang telah 'melanggar dan menistakan' hak konstitusional setiap warga negara dalam menyampaikan pendapat.

“Saya menyampaikan hak konstitusional warga negara yang Bapak [Luhut] langar, Bapak nistakan, dan abaikan, oleh karena itu kita semua harus kembali jika ada masalah ke UUD untuk menyelesaikan masalah itu, dan upaya-upaya Pak Luhut adalah upaya-upaya yang represif,” kata Feri.

Ia mengutip perkataan seorang politisi terkemuka, “kalau negara takut dengan rakyat, maka itulah negara demokrasi. Kalau kemudian penyelenggara negara menakuti rakyat, melaporkan rakyat, mengancam dengan pidana, maka disanalah timbul negara otoriter."

“Jangan sampai kita nanti menuduh Pak Luhut telah menjalankan sifat-sifat negara otoriter ke warga negaranya. Oleh karena itu kita minta Pak Luhut sadar diri untuk mencabut laporannya, tuduhannya kepada Haris dan Fatia,” tambah Feri.

Senada, Koordinator Badan Pekerja KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan, saat ini Indonesia berada di bawah rezim represif yang semakin mirip dengan era Orde Baru.

Husna mengatakan, apa yang dialami Haris dan Fatia adalah beberapa dari 95 kasus kriminalisasi yang terjadi di sepanjang 2021, yang menimpa aktivis kemanusiaan, hingga masyarakat adat dengan total 295 orang.

“Mari kita membela kasus ini. Ini bicara bukan tentang Haris dan Fatia saja, tapi ini masalah bangsa,” kata Husna.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, sidang perdana Haris dan Fatia merupakan refleksi dari kondisi penegakan hukum di Indonesia yang berada dalam 'resiko tinggi'.

“Hukum hanya tunduk pada yang kuat. Padahal orang kuat yang tunduk pada hukum… Haris dilaporkan oleh Luhut, dan Haris juga melaporkan Luhut. Tapi kita tahu, hukum dan lembaga hukum memberikan respon yang berbeda, apakah itu cermin dari negara hukum? Tentu bukan,” ujar Hamid.

Seorang perempuan yang mengaku korban perampasan tanah dari Rumpin, di Kabupaten Bogor, Neneng juga hadir dalam aksi tersebut.

“Saya datang ke sini ingin memperjuangkan Haris dan Fatia yang ikut memperjuangkan dan mendampingin kami atas hak tanah kami di Rumpin yang dirampas. Kalau mereka disalahkan, kami sebagai rakyat kecil mau minta tolong ke siapa lagi?” kata Neneng.

Jaksa: Luhut tidak pernah memiliki usaha tambang di Papua

Di dalam persidangan, JPU juga menyatakan dalam dakwannya bahwa Luhut tidak pernah memiliki usaha pertambangan di Blok Wabu maupun di wilayah Papua lainnya.

“Yang pada intinya menuduh melalui berita yang patut diduga suatu kebohongan bahwa saksi Luhut memiliki konflik kepentingan dan menerima gratifikasi di dalam industri tambang di Papua karena merupakan pemegang samah di Toba Sejahtera Group yang seolah-olah digambarkan memiliki usaha pertambangan yang berlokasi di Blok Wabu.”

“Padahal Luhut sama sekali tidak pernah memiliki usaha pertambangan di Blok Wabu maupun di wilayah Papua lainnya,” kata jaksa.

JPU menjelaskan bahwa Luhut memang merupakan pemegang saham Toba Sejahtera Group, namun dia bukan pemegang sama PT Tobacom Del Mandiri, anak perusahaan Toba Sejahtera Group.

Jaksa menambahkan, PT Tobacom Del Mandiri pernah melakukan penjajakan kerja sama dengan PT Madinah Qurrata ‘Ain (MQ) namun tidak dilanjutkan hingga saat ini.

Dan, lanjut JPU, PT Madinah Qurrata ‘Ain hanya memiliki kerja sama konkrit atas perjanjian pengelolaan Derewo Project dengan PT Byntech Binar Nusantara, yang bukan merupakan anak perusahaan Toba Sejahtera Group.

“Serta tidak pernah ada perjanjian maupun kerja sama konkrit maupun tidak ditemukan adanya dokumen mengenai keikutsertaan PT Toba Sejahtera Group, PT Tobacom Del Mandiri, dan PT Tambang Raya Sejahtera dalam pengembangan Derewo Project yang dilakukan bersama PT Madinah Qurrata ‘Ain (MQ),” ujar Jaksa.

Sehingga pernyataan Fatia, kata JPU, yang mengatakan adanya keterlibatan saksi Luhut dalam kegiatan bisnis pertambangan di Papua, patut diduga mengandung muatan fitnah dan atau pencemaran nama baik karena menyebarkan informasi bohong dan tidak benar.

Terkait tuduhan dalam video itu, Luhut telah memberi dua kali somasi kepada Haris dan Fatia, namun tidak pernah dipenuhi oleh keduanya. Sehingga Luhut melaporkan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya pada 22 September 2021.

Dalam video tersebut, Haris dan Fatia membahas perusahan Tobacom Del Mandiri yang disebut sebagai perusahaan yang bermain dalam bisnis tambang di Papua

"PT Tobacom Del Mandiri ini direkturnya adalah purnawirawan TNI namanya Paulus Prananto. Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita, namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Jadi Luhut bisa dibilang bermain dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini," kata Fatia di video.

Dalam laporan cepat itu, dituliskan bahwa dalam Darewo River Gold Project, West Wits Mining (pemegang saham MQ) juga membagi sejumlah 30% saham kepada PT Tobacom Del Mandiri. Presiden direktur TDM ialah Purnawirawan TNI Paulus Prananto. Di sebuah terbitannya, West Wits Mining jelas menyebut bahwa TDM bertanggung jawab terkait izin kehutanan dan terkait keamanan akses ke lokasi proyek.55 TDM merupakan bagian dari PT Toba Sejahtera Group.

Lanjut tulisan itu, pemilik saham minoritas Toba Sejahtera adalah Purnawirawan TNI Luhut Binsar Panjaitan. Dua purnawirawan TNI yang terkait dengan perusahaan MQ, Paulus Prananto dan Luhut Binsar Panjaitan, merupakan anggota tim relawan (Bravo Lima) pemenangan Presiden Joko Widodo pada 2014 dan 2019.

JPU sebut Haris dan Fatia tidak pernah konfirmasi ke Luhut

JPU juga menambahkan akun Youtube Haris Azhar bukan termasuk media persidangan elektronik, media massa elektronik, serta bukan media publikasi resmi dari akademisi atau organisasi masyarakat sipil, melainkan sebatas media sosial pribadi.

“Bahwa selama percakapan berlangsung, terdakwa Haris dan saksi Fatia tidak pernah menginformasikan metodologi penelitian kajian cepat yang dilakukan… tanpa melakukan konfirmasi atau mengkaji ulang, atau mengkroscek kebenaran informasi kepada saksi Luhut sehingga kajian cepat… sebenarnya masih dapat terjadi kekeliruan atau tidak dapat dipastikan kebenarnya,” kata jaksa.

JPU juga menyebut, Haris tidak mengundang saksi Luhut dalam rekaman video sebagai narasumber sehingga masyarakat umum tidak mendapatkan informasi yang berimbang antara tuduhan Fatia dan pembelaan dari Luhut, yang menyebabkan terjadinya penghukuman oleh Haris dan Fatia terhadap Luhut.

Sidang berikutnya dengan agenda eksepsi akan dilanjutkan pada 17 April 2023, pukul 10.00 WIB.

Setelah mendengar dakwaan tersebut, Haris menyatakan tidak mengerti akan substansi yang dituduhkan pada dirinya. “Saya tidak menerima semua dakwaan terhadap saya,” kata Haris.

Di luar persidangan, beberapa aktivis masyarakat melakukan demonstrasi sebagai bentuk dukungan kepada Haris dan Fatia.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved