Sabtu, 4 Oktober 2025

Eksil korban peristiwa 1965: Apa kaitan mereka dengan label PKI sehingga tidak diakui sebagai WNI?

Beberapa eksil korban tragedi nasional 1965 mengaku tetap tidak menyesal atas sikap mereka yang tidak bersedia mendukung pemerintahan…

"Apalagi misalnya, kalau dikatakan PKI mesti pengkhianat. Loh PKI itu dulu partai yang sah. Partai politik yang sah secara hukum, bahkan itu partai yang paling dekat dengan Sukarno belakangan," tutur Sungkono kepada wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin dalam liputan di Amsterdam pada 7 Mei 2023.

Tak menyesali keputusan ayah

Salah satu partai dengan pengikut terbanyak itu dibubarkan melalui Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang beserta setiap kegiatan untuk menyebarkan, mengembangkan faham atau ajaran komunis, marxisme dan leninisme. Ketentuan tersebut masih berlaku sampai dewasa ini.

Percakapan lantas kami lanjutkan di dapur bersama Siti Krisnowati atau Wati. Ini bertolak dari seorang putri diplomat yang sempat mengikuti sang ayah berdinas di Rumania, kemudian sempat mengikuti tugas ayah di Vietnam tapi kemudian terpaksa mengungsi ke China, menikah dengan sesama pelarian politik sebelum mencari suaka ke Belanda, dan kini menjadi pasangan eksil korban peristiwa 1965.

Saya tanyakan apakah dia pernah menyesali sikap ayahnya yang menentang kepemimpinan Presiden Soeharto di bawah rezim militer Orde Baru sehingga di-persona non grata-kan.

"Tidak sama sekali. Karena dalam hal ini walaupun usia saya masih sekitar 16-17 tahun ketika itu dalam masalah kegiatan politik, pikiran, aliran politik, saya memang sama dengan bapak. Jadi apa yang beliau ambil, saya setuju.

"Dari segi lain, karena pada waktu Bung Karno berkunjung ke Rumania, saya sempat berdialog langsung dengan Bung Karno. Jadi suatu kesan-kesan itu sangat kuat pada saya. Di samping saya ketika itu juga sudah mempelajari atau membaca tulisan-tulisan beliau. Saya bisa dibilang mengagumi beliau, mengagumi Bung Karno," jawab Wati.

Mengapa eksil 1965 tampak tak berdaya?

Ketika terjadi kekacauan pasca tragedi September 1965, terdapat sekitar 100 mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi di Cekoslowakia, kini bernama Republik Ceko. Berasal dari berbagai latar belakang, berbagai organisasi, partai politik dan ada pula yang tak punya kaitan, mereka tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Cekoslowakia.

Ketuanya adalah Jaroni Surjomartono, mahasiswa Perguruan Tinggi Ekonomi Praha (VSE) berusia sekitar 22-23 tahun. Pemuda itu sendiri berasal dari keluarga berlatar belakang Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dikenal sebagai salah satu partai yang menentang PKI. "Jadi bagaimana dikatakan komunis, keluarga saya Masyumi," kata eksil yang menetap di Praha itu.

Dia harus menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang dialami anggota PPI, di antaranya mengurus legalisasi izin tinggal tanpa paspor Indonesia dan meminta kepada pemerintah Ceko agar tetap menyalurkan beasiswa sampai mereka tamat. Sesudah menyelesaikan kuliah, mereka berpindah negara. Sebagian menetap di Republik Ceko, seperti Jaroni Surjomartono, 80 tahun, atau sapaan tenarnya Rony Marton.

Karena kehilangan kewarganegaraan dan kesibukan rapat, kuliah Rony sempat terbengkalai dan molor sampai tiga semester. Sambil berkuliah dia membentuk band Matahari.

"Misinya mempopulerkan Indonesia dan memberi info tentang kudeta Suharto mendongkel Bung Karno. Selain itu, buat kami hiburan, juga bisa ngamen," terangnya dalam komunikasi dengan wartawan BBC News Indonesia di London, Rohmatin Bonasir.

Rony bahkan menjadi juara kontes pencarian bakat menyanyi Cekoslowakia pada 1970.

Rony, Wati, Sungkono dan para eksil lainnya sekarang secara garis besar diakui sebagai korban pelanggaran HAM berat, dari peristiwa berdarah skala besar hampir 60 tahun silam. Di penghujung hidup, mereka tetap mendesak pengungkapan kebenaran dalam peristiwa yang membuat mereka sampai tidak diakui sebagai anak bangsa.

Tapi tuntutan itu berpacu dengan waktu. Satu per satu eksil tutup usia. Deretan yang berpulang mencakup Ibrahim Isa, yang mewariskan pengalamannya dalam buku Bui Tanpa Jerajak Besi, Kisah Seorang Eksil di Negeri Orang, dan Sarmadji yang mendirikan Pusat Dokumentasi Indonesia (Perdoi) di rumahnya.

Selain Sukrisno, mantan duta besar yang meninggal di pengasingan di antaranya terdapat Mohamad Ali Chanafiah. Dia ditugaskan sebagai duta besar untuk Sri Lanka di era pemerintahan Presiden Sukarno, dan meninggal dunia di Swedia. Anak Marhaen Hanafi, mantan duta besar di Kuba tutup usia di Prancis.

Jumlah awal WNI yang tidak bisa pulang diperkirakan ratusan bahkan lebih dari 1.000 orang. Kini bukan WNI lagi, mereka ditaksir tinggal ratusan. Sekitar 68 orang di antaranya berada di Belanda, sebagaimana dikatakan oleh ketua Perhimpunan Persaudaraan, Sungkono.

Meskipun para eksil 1965 ini mempunyai akses internasional, koneksi global dan pada umumnya kaum terdidik, mengapa mereka tampak tak berdaya, misalnya menggalang dukungan, menekan pihak berwenang untuk membuka gamblang peristiwa yang membuat mereka hidup terlunta-lunta? Atau, membuat gerakan guna membersihkan nama mereka dari kecurigaan terlibat PKI?

Menurut Jaroni Surjomartono, salah satu jawaban atas pertanyaan itu ada kaitannya dengan perselisihan antara kekuatan Moskow dan Beijing menyusul Revolusi Kebudayaan di China yang diprakarsai oleh pemimpin komunis Mao Zedong. Ada perbedaan penafsiran tentang bagaimana pemerintahan komunisme semestinya diterapkan.

"Ini mempunyai dampak di situasi para eksil di RRC (China) dan Eropa Tengah dan Timur, terutama di antara mereka yang berafiliasi dengan PKI.

"Terjadi hijrah dari Peking (Beijing) ke Eropa Barat - yang akhirnya mereka terpisah-pisah tempat dan aktivitasnya. Pendapat saya ini adalah pendapat pribadi setelah mendapat informasi dari beberapa yang hijrah dari Peking ke Eropa. Jadi tanpa organisasi dan tanpa pimpinan, mereka tak bisa beraktivitas secara efektif dan mengenai sasaran," jelas Rony Marton.

Penilaian Rony Marton diperkuat oleh Profesor David Hill, peneliti eksil 1965 dari Universitas Murdoch, Australia. Pada umumnya, para eksil itu terpecah belah oleh pandangan ideologis, oleh persaingan antara pemimpin-pemimpin tertentu dan terpencar di belasan negara.

"Jadi sulit bagi mereka untuk memobilisasi kekuatan intelektual mereka untuk melawan pemerintah Indonesia. Mereka yang di RRC, mereka yang di Uni Soviet, mereka yang di Eropa Timur, mereka yang ada di berbagai negara di Asia itu sangat sulit bagi mereka untuk berkomunikasi pada waktu itu," katanya kepada BBC News Indonesia.

Disekolahkan tapi tidak bisa pulang

Belum lagi, eksil dan keluarga mereka harus bergulat memulai kehidupan baru, mempelajari bahasa dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di negara tempat mencari suaka.

Penyebab lain yang mengakibatkan mereka tak berdaya dalam membantu mengungkap faktor-faktor apa yang menentukan nasib mereka pada 1965-1966, menurut Rony Marton, adalah situasi di dalam negeri.

"Saat itu kekuatan militer dan politik praktis masih dipegang oleh sosok-sosok pendukung Soeharto. Di pihak lain grup-grup eksil terpecah-belah dan di Indonesia sendiri sangat sulit mengorganisir gerakan politik - salah satunya karena ketakutan dan trauma dari tindakan kejam militer Soeharto tahun 1965- 1966."

Walau begitu, kaum eksil khususnya yang tinggal di Belanda berhasil menggelar Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) kasus 1965 di Den Haag, pada November 2015. Pengadilan mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965.

Melalui wadah-wadah seperti Paguyuban Eksil di Swedia, Perhimpunan Persaudaraan di Belanda dan paguyuban Watch65, mereka juga berusaha mengangkat kebobrokan Orde Baru serta menyuarakan tuntutan akan keadilan. Banyak eksil mengekspresikan kepahitan perjalanan hidup lewat buku, cerpen dan puisi. Karya-karya mereka juga dapat dinikmati di Indonesia.

Kegiatan terbaru mereka adalah mengadakan pertemuan internasional Eksil 1965 di Amsterdam pada Rabu (14/06) guna mendukung petisi di change.org Menolak Keterangan Pers Menkopolhukam tentang Eksi Indonesia 1965/66. Salah satu intinya, mereka menolak penyebutan istilah "39 orang eksil bukan pengkhianat negara".

Profesor David Hill menggarisbawahi bahwa para eksil merupakan wujud dari suatu kehilangan bagi bangsa Indonesia mengingat mereka dikirim ke luar negeri untuk mencari ilmu di berbagai bidang.

"Di dalamnya ada orang yang betul-betul top dalam profesi mereka, yang sudah puluhan tahun mau kembali untuk berbakti kepada masyarakat tapi ditolak oleh pemerintahnya. Sangat, sangat disesalkan," katanya.

Dia mengambil contoh Waloejo Sedjati atau Samiadji. Dia dikirim ke Korea Utara untuk menekuni kedokteran. Pasca peristiwa 1965, paspornya dicabut sehingga tidak bisa pulang ke tanah airnya.

Maka Waloejo Sedjati hidup berpindah-pindah dari Korea Utara, melanjutkan studi ke Uni Soviet dan akhirnya menetap di Prancis hingga tutup usia pada umur 78 tahun. Di negara itu, dia dikenal sebagai ahli bedah saraf dan mengadopsi nama setempat, Valery Selancy.

Berdasarkan penelitiannya, Profesor Hill mengatakan mayoritas eksil tidak mengedepankan situasi pribadi yang dialami mereka masing-masing, melainkan pelurusan sejarah terkait peristiwa di penghujung September 1965.

Sejarah Indonesia mengajarkan bahwa pembunuhan para jenderal pada 1965 dilakukan oleh PKI. Partai tersebut berkhianat dan melakukan perebutan kekuasaan tapi pada akhirnya ditumpaskan Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, perlu dilakukan pemberangusan terhadap semua hal yang dianggap berbau PKI, semua orang yang diduga terkait partai itu. Salah satu eksesnya, timbul konflik dalam masyarakat secara nasional. Emosi massa terutama dari ormas Islam tak terelakkan, menurut para sejarawan, karena mereka merasa sakit hati kepada PKI akibat perlakuan terhadap pemuka agama, terutama di masa pemberontakan PKI tahun 1948.

Hingga kini narasi historis pemerintahan pimpinan Presiden Soeharto diperdebatkan secara sengit.

"Apa yang terjadi sebenarnya, dan mengapa sejarah itu diputarbalikkan, diubah menjadi satu mitos mengenai gerakan PKI. Jadi saya kira satu faktor yang sampai sekarang ini masih menyakiti hati mereka ialah betapa besar pembohongan yang masih ada dalam buku-buku sejarah di Indonesia mengenai peranan PKI.

"Dan bahwa belum dibongkar pembunuhan-pembunuhan massal di Indonesia, bahwa sekian ribu orang Indonesia yang tidak bersalah ditahan, dituduh macam-macam yang tidak betul, yang tidak berdasarkan kenyataan dan bahwa stigma-stigma itu masih mereka alami sampai sekarang," kata Profesor Hill.

Para eksil, lanjutnya, juga lebih menekankan pada penderitaan yang dialami korban langsung di Indonesia, yakni mereka yang dikejar, disiksa dan dibunuh. Korban hidup dikenakan wajib lapor dan mengalami diskriminasi, misalnya lewat kebijakan bersih lingkungan dan bersih diri sebelum peraturan dicabut di era Reformasi.

Pernah menyesal menolak Orba?

Presiden Joko Widodo pada Selasa (27/06) dijadwalkan mengumumkan program penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) melalui jalur nonyudisial, termasuk peristiwa 1965. Pelaksanaannya tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023.

Langkah ini untuk menindaklanjuti rekomendasi tim PPHAM yang menitikberatkan perhatiannya pada korban. Atas rekomendasi itu pula, Presiden Joko Widodo menyatakan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM berat. Namun pengumuman presiden pada 11 Januari 2023 tidak sampai mencakup pernyataan maaf dan pengusutan pelaku pelanggaran HAM berat itu sendiri.

"Kalau menyangkut pelaku, itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Jadi, ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku," Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD usai rapat terkait tindak lanjut rekomendasi penyelesaian nonyudisial pada awal Mei.

Kepada kelompok korban peristiwa 1965 yang berada di luar negeri, pemerintah Indonesia antara lain menawarkan pemulihan kewarganegaraan. Akan tetapi eksil-eksil yang diwawancara BBC News Indonesia menolak tawaran itu, antara lain karena pendekatan itu bersifat administratif belaka, tidak menyentuh pokok masalah dan sudah terlambat sebab mereka sudah beranak pinak di negara lain.

Diakui oleh Jaroni Surjomartono sebagai korban pelanggaran HAM berat bahwa pengungkapan kebenaran dan perwujudan keadilan sangat sulit untuk dicapai secara tuntas.

"Kurun waktu 58 tahun telah menandai keblurengan (kekaburan) segala hal ikhwal, sebab dampak langsung 58 tahun yang lalu, sudah tidak begitu membakar emosi," ujar pria asli Solo itu.

Di Belanda, Sungkono berpendapat pertanggungjawaban hukum pemerintah tampak semakin kabur dengan adanya jalur penyelesaian nonyudisial, bukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui jalur hukum. Pengakuan bahwa terjadi pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1965 tidak dengan sendirinya memecahkan segala problematika.

"Setelah terjadi peristiwa 65, sejarah kita itu dipelintir. Jadi ini tugas kita dan persiapkan pikiran kita bahwa perjuangan untuk memulihkan kebenaran, untuk memutar kembali sejarah kita yang berdasarkan kebenaran itu masih panjang. Menurut saya, masih panjang."

Tim PPHAM telah merekomendasikan pengungkapan kebenaran dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, hanya saja pelaksanaannya perlu dipastikan.

"Prinsip hak atas kebenaran sebenarnya juga dimiliki oleh semua korban peristiwa pelanggaran HAM berat. Dan itu masuk ke dalam rekomendasi tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM yang berat. Salah satu rekomendasinya adalah pengungkapan kebenaran.

"Nah, hanya kemudian kami juga sedang mencoba mengkaji lagi soal pengungkapan kebenaran ini karena di Inpres soal sejarah menjadi domainnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nah itu, penyikapannya seperti apa, strateginya seperti apa," kata anggota Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM Beka Ulung Hapsara kepada sejawat saya di BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau.


Stigmatisasi komunis pada eksil

Dr Soe Tjen Marching, dosen senior di SOAS University of London, penulis buku Yang Tak Kunjung Padam - Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman.

Dari zaman Orde Baru, stigma komunis itu dipakai untuk menyingkirkan lawan-lawan Orba - padahal belum tentu orang yang dituduh itu komunis atau bersimpati pada komunis. Ada beberapa eksil yang sempat saya temui yang tidak setuju dengan komunis, tapi tetap dicap komunis.

Lalu stigma ini dilanjutkan oleh kedutaan Indonesia di masa Orba. Banyak mahasiswa yang studi di Eropa diperingatkan supaya tidak bergaul dengan eksil karena mereka itu komunis. Sekarang, stigma ini rasanya sudah agak luntur karena banyak orang lebih tahu tentang eksil.

Tapi memang, masih saja stigma ini beredar kemungkinan besar karena mereka khawatir akan terbukanya borok-borok lama mereka. Walaupun bukan mereka sendiri yang secara langsung melakukannya, tapi mereka ini terkadang masih menikmati hasil dari pelanggaran HAM besar-besaran tersebut.

Alasan lain adalah karena cuci otak dan ketidakacuhan terhadap politik. Masih banyak orang yang tidak tahu tentang Genosida '65 dan apa yang terjadi pada para eksil.


Dalam keterangan pers pada Jumat (23/06), Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menyediakan dana penelitian bagi siapa saja yang menulis sejarah.

"Jadi kita menyediakan dana untuk siapa yang mau menulis sejarah. Silahkan. Tapi itu akademik, bukan hasilnya itu lalu jadi dasar kebijakan, tak akan pernah ketemu, sejarah itu akan beda-beda," jelasnya.

Mahfud MD kembali menekankan bahwa orientasi penanganan sekarang adalah korban. "Oleh sebab itu kita sekarang perhatikan korbannya saja, soal kebenaran sejarahnya itu ilmu."

Bagi Sungkono, penyelesaian pelanggaran HAM seharusnya dimulai dengan pengungkapan kebenaran, "tanpa mengabaikan kejadian-kejadian yang obyektif pada waktu itu."

Dengan demikian apakah Sungkono menyimpan penyesalan atas sikap yang diambil ketika menjalani penyaringan di KBRI Moskow?

"Oh tidak. Saya sama sekali tidak menyesal karena pengakuan saya. Saya tetap setia kepada pemerintahan Presiden Sukarno. Karena itu misalnya saya dilarang pulang, sampai harus tidak bisa berhubungan dengan keluarga, tidak tahu-menahu tentang orang tua saya, itu memang risiko," tegasnya.

Bahkan Sungkono mengatakan dia memang harus bersikap seperti itu - karena kembali pada penyaringan di KBRI - presiden Indonesia pada waktu itu masih Sukarno.

"Soeharto jabatannya hanya komandan Kostrad. Kala saya ditanya, 'saudara kenal Letjen Suharto? 'Tidak' Saya pada waktu itu tidak pernah dengar nama dia. Ya saya bilang begitu. 'Bagaimana pendapat saudara tentang tindakan-tindakan dia untuk menyelesaikan keamanan?' Ya saya bilang 'saya tidak tahu persis bagaimana kejadian itu'". Jawaban yang membuat paspornya dicabut, tak diakui sebagai warga negara Indonesia.

Di atas semua persoalan tersebut, Sungkono mengenang ibu kota Provinsi Sumatra Utara. Pohon-pohon besar nan rindang tumbuh dipelihara di depan Kantor Pos Medan, dan di sepanjang jalan lengang menuju lapangan terbang Polonia, pintu keberangkatannya menuju Rusia tepat pada tanggal 17 Agustus 1962.

"Waktu saya pergi, waktu pesawat naik, saya lihat makin lama makin meninggalkan. Waduh tanah air saya, lima tahun nanti saya baru pulang lagi. Tahu-tahu tak bisa pulang. Itulah pengalaman pahit. Kalau saya ingat-ingat ini, saya nangis sendiri, dik. Apalagi kalau saya ingat orang tua saya. Saya bayangkan waktu meninggal itu bagaimana ya," pungkas Sungkono dalam wawancara khusus di Amsterdam dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.

Dari kunjungan terakhir ke tanah kelahirannya beberapa tahun lalu, Sungkono paham betul bahwa pohon-pohon sudah menjelma menjadi gedung-gedung. Jalan-jalan dipadati lalu lintas "bagai semut". Yang tak berubah, perjalanan mengungkap fakta-fakta sejarah yang sebenarnya belum juga menemukan titik terang, seperti diakuinya di atas.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved