Sabtu, 4 Oktober 2025

Eksil korban peristiwa 1965: Apa kaitan mereka dengan label PKI sehingga tidak diakui sebagai WNI?

Beberapa eksil korban tragedi nasional 1965 mengaku tetap tidak menyesal atas sikap mereka yang tidak bersedia mendukung pemerintahan…

Sama-sama tidak bisa pulang ke Indonesia, pasangan itu menikah dan tinggal di China sebelum 1981 menyusul orang tua Wati yang telah terlebih dulu mencari suaka di Belanda pada 1979.

Negara itu dipilih untuk memudahkan komunikasi dengan sanak keluarga di Indonesia. Lagi pula, sudah ada beberapa kerabat ibunya Wati yang tinggal di Belanda.

Mantan Duta Besar RI Sukrisno beserta istri dan anak-anak mereka menjadi vluchteling, pengungsi. Pertama kali tiba di Belanda, mereka ditampung di sebuah asrama milik gereja. Mereka belajar bahasa Belanda bersama dengan sesama pengungsi dari Iran dan negara-negara Afrika.

Kini, Sungkono, pensiunan perusahaan Dutch Mail Company berusia 84 tahun dan Wati, pensiunan juru rawat berumur 74 tahun. Suami istri ini merupakan dua dari puluhan eksil 1965 yang masih tersisa di Belanda. Negara tersebut paling banyak menampung orang-orang yang tidak bisa pulang akibat tragedi berdarah di Indonesia.

Mereka adalah warga negara Indonesia (WNI) yang ditugaskan oleh pemerintah untuk belajar di luar negeri, ditugaskan mengemban misi diplomatik atau menghadiri acara internasional.

Pasca pergolakan dan perubahan politik di Indonesia pada 1965, mereka tidak bisa pulang. Paspor mereka dicabut oleh perwakilan diplomatik Republik Indonesia. Pada umumnya kaum terpelajar, mereka tercerai berai di banyak negara, khususnya di negara-negara sosialis. Mereka terputus dari keluarga.

Cap komunis serta merta distempelkan pada mereka. Hingga kini label itu belum luntur sepenuhnya, sekalipun 58 tahun sudah berlalu, seperti dikatakan Dr Soe Tjen Marching, dosen senior di SOAS University of London dalam kolom di bagian bawah tulisan ini.

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah hendak memulihkan hak eksil sebagai korban peristiwa 1965.

"Mereka ini masih ada beberapa di luar negeri. Nanti akan kita undang. Mereka ini bukan anggota PKI. Mereka ini korban karena disekolahkan lalu tidak boleh pulang," kata Mahfud ketika menyampaikan keterangan pers usai rapat mengenai tindak lanjut rekomendasi penyelesaian nonyudisial bagi korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Jakarta pada 2 Mei lalu.

Kelompok antikomunis dan mereka yang memihak sejarah versi dari negara mengkhawatirkan apa yang dikatakan sebagai kebangkitan kembali komunisme.

Seperti halnya orang tua Wati, mayoritas telah meninggal dunia sebelum sempat menyaksikan pengakuan resmi bahwa apa yang menimpa mereka merupakan pelanggaran HAM berat, sebagaimana dinyatakan Presiden Joko Widodo pada tanggal 11 Januari 2023.

"Buat kami tentu sangat senang dan sedih. Wah dulu yang diharap-harapkan ibu, bapak - terutama bapak - karena bapak sampai terakhir tidak mengambil kewarganegaraan Belanda. Tidak. Karena beliau berpendapat 'saya orang Indonesia, saya bekas duta besar, saya tetap (warga Indonesia)'.

"Kalau kami memang mengambil warga negara Belanda karena kami memerlukan untuk bisa ke mana-mana. Kalau tidak, kami berdiam di Belanda saja tanpa bisa keluar," kata perempuan berambut kepang sejak kecil tersebut.

Latar belakang politik

Usai berziarah, kami hendak melanjutkan wawancara di kediaman Sungkono dan Wati. Sungkono memegang setir, Wati memberi petunjuk arah. Mobil melesat di jalanan kota Amsterdam. Tak terelakkan jantung berdebar-debar, khususnya saat kendaraan mengitari bundaran. Nyatanya kekhawatiran saya berlebih, karena Sungkono punya penglihatan tajam. Respons tubuh dan geraknya tidak mencerminkan usia 84 tahun.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved