Sekolah-sekolah di Jepang beralih jadi akuarium hingga pabrik sake karena kekurangan murid
Penurunan drastis angka kelahiran di Jepang telah menyebabkan ruang-ruang kelas menjadi kosong. Akibatnya, sebanyak 450 sekolah negeri…
Terjadi dua kali lonjakan jumlah pelajar sepanjang sejarah Jepang:
- Pertama, pada 1958 ketika 40.000 sekolah negeri melayani 18,6 juta siswa (13 juta di shogakko dan 5,6 juta di chugakko), yang merupakan generasi baby boomer pertama (kelahiran 1947-1949).
- Kedua, pada 1981 jumlah siswa sekolah juga meningkat dengan kemunculan generasi baby boomer kedua (kelahiran 1971-1974).
Sejak saat itu, tingkat hunian ruang kelas terus menurun.
Tahun lalu, untuk pertama kalinya angka kelahiran di Jepang turun hingga di bawah 800.000 anak yang mengindikasikan bahwa akan lebih banyak sekolah ditutup.
Menghidupkan kembali sekolah
Melalui unggahan di situsnya, MEXT menyajikan informasi mengenai fasilitas-fasilitas sekolah yang ditutup oleh pemerintah daerah. Pada saat bersamaan lembaga itu mempelajari beragam proposal dari pihak ingin memanfaatkan gedung bekas sekolah.
Izin untuk memanfaatkan fasilitas sekolah diberikan kepada operator yang berkomitmen mendukung masyarakat setempat, mempromosikan revitalisasi daerah, dan menciptakan lapangan kerja.
Ruang-ruang seperti kelas, teras, gimnasium, bahkan kolam renang tersedia. Begitu pula infrastruktur mendasar seperti listrik, gas, dan pengelolaan limbah.
Meskipun setengah dari sekolah negeri di Jepang telah berusia lebih dari 30 tahun, membangun gedung serupa dari nol akan memakan waktu dan biaya yang besar, yakni 1,3 miliar yen (Rp137 miliar).
Menurut Profesor Takahiro Hisa, penutupan sekolah semestinya tidak terjadi hanya karena alasan ekonomi.
Ada hubungan emosional yang sangat kuat antara bangunan dan penghuninya.
Mengubah pemanfaatan sekolah, yang merupakan tempat penuh kenangan, dan menciptakan ruang-ruang komunitas di mana orang-orang bisa berkumpul adalah sebuah inisiatif yang berdampak signifikan, katanya.
Cara menghidupkan kembali ruang-ruang itu juga bervariasi di setiap daerah.
Di Kota Shinshiro di Prefektur Aichi, kafetaria SD Sugamori diubah pada tahun 2014 menjadi restoran yang menyajikan hidangan berbahan dasar lokal.
Desa Nippaku di utara Hokkaido, yang berpenduduk sekitar 5.000 orang, kehilangan sekolah berusia satu abad pada 2008 yang kini menjadi Museum Taiyo no Mori.
Semuanya berawal ketika kolektor seni Isao Tanimoto membeli bangunan tersebut atas permintaan warga yang ingin merevitalisasi daerah itu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.