Sabtu, 4 Oktober 2025

Indonesia masuk fase endemi Covid-19, IDI minta pemerintah gratiskan vaksin bagi masyarakat kurang mampu

Ketua Satgas Covid Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr Erlina Burhan, mengimbau agar pemerintah tetap memberikan akses…

“Nanti kalau kedaruratan ini dicabut, maka sistem pembiayaan -baik itu vaksinasi maupun yang dirawat- itu kembali ke mekanisme sebelum Covid,“ katanya

Syahril mengatakan bahwa pembayaran dapat dilakukan dengan mekanisme dengan BPJS atau ditutupi dengan layanan asuransi.

Ada pula, mekanisme subsidi dari pemerintah daerah dan yang bagi yang mempunyai kemampuan, mereka bisa bayar sendiri.

“Untuk berbayar itu bisa BPJS jika BPJS memang mengakomodir. Ada juga asuransi yang meng-cover setiap orang, itu juga masuk. Tapi kalau tidak, ya berbayar seperti sekarang,“ ungkap Syahril.

Ia menjelaskan bahwa vaksinasi Covid tidak akan menjadi kewajiban bagi masyarakat. Namun, fasilitas kesehatan tetap akan menyediakannya sebagai imunisasi reguler setiap tahun.

Maka, ia menganjurkan agar masyarakat melakukan vaksinasi Covid-19 setelah enam bulan untuk meningkatkan kekebalan tubuh.

“Jadi booster 1 dan 2 kalau sudah lebih dari enam bulan, berarti suntik lagi. Dan tidak usah lagi kita melihat booster 1-2-3. Seperti influenza kita setiap tahun boleh. Enggak ada influenza 1-2-3 gitu.“

Walau begitu, Syahril belum bisa memberikan perkiraan biaya vaksinasi Covid-19. Tetapi akan ada batas harga terendah dan batas harga tertinggi yang tidak boleh dilanggar pihak yang memberikan vaksinasi.

Selain itu, obat gratis untuk pengidap Covid-19 dari layanan telemedisin sudah tidak akan diberikan secara gratis lagi oleh Kementerian Kesehatan.

Sebab, biaya pengobatan dan perawatan akan ditanggung sepenuhnya oleh pasien atau keluarga.

“Karena ini sudah bukan darurat lagi. Kalau bukan darurat berarti sudah bukan ditanggung pemerintah pusat lagi. Dibebankan kepada sistem mekanisme pembiayaan yang sudah ada. Apakah melalui BPJS, asuransi atau berbayar sendiri,“ ungkap Syahril.

Saat ini, tingkat vaksinasi Covid-19 dosis pertama sudah mencapai 86,86% dan penerima dosis kedua mencapai 74,52%. Sementara, total vaksinasi untuk dosis ketiga baru mencapai 37,89% dan penerima dosis keempat hanya mencapai 1,74%.

Menurut pengamat Epidemiologi, Tri Yunis Miko Wahyono, vaksinasi memberikan efek imunitas yang bertahan selama kurun waktu tertentu. Maka, memang perlu dilakukan vaksinasi secara reguler sekali dalam satu sampai tiga tahun.

“Kalau menurut saya, vaksin Covid itu short term immunity satu sampai tiga tahun. Dalam tiga tahun akan hilang efek dari vaksinasinya atau infeksi alaminya. Dan harusnya diteliti kemudian berapa tahun. Tapi paling tidak mengurangi keparahannya saja,” ungkap Tri.

Meski begitu, dengan mekanisme vaksinasi berbayar, Tri merasa bahwa cakupan masyarakat akan semakin kecil. Bahkan, saat vaksin masih gratis pun ada sebagian dari masyarakat yang masih enggan untuk divaksin.

“Kalau vaksin berbayar cakupannya akan berkurang, orang yang sakit akan banyak, orang yang parah akan banyak. Dan itu menjadi tanggung jawab pemerintah juga,” katanya.

Baca juga:

Apakah kehidupan masyarakat akan kembali seperti sebelum pandemi?

Pengamat Penyakit Menular Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan bahwa pencabutan status darurat Covid-19 tidak akan mengubah kehidupan masyarakat secara signifikan.

Sebab, menurut dia, keadaan wabah Covid-19 di Indonesia sudah lama berada dalam kondisi landai.

“Keadaan daruratnya menurut saya sudah diturunkan kemarin oleh Presiden pada waktu kegiatan Lebaran dibebaskan, atau pada waktu Presiden mengatakan boleh berdekatan dan boleh tidak pakai masker di tempat-tempat tertentu,” jelas Tri kepada BBC Indonesia, pada Rabu (10/5).

Menurut Tri, seharusnya langkah yang diambil pemerintah adalah mencabut status wabah Covid-19, bukan status darurat Covid-19.

Dengan begitu, Covid-19 bisa dianggap sebagai wabah musiman seperti flu dan lainnya.

Lebih lanjut, ia melihat akan ada dua kelompok orang di masyarakat.

Sebagian yang tidak terlalu menghiraukan wabah Covid-19 alias ‘cuek’, dan sebagian lain yang masih khawatir terkena penyakit tersebut.

“Dengan pengalaman pahit Covid-19 ya orang berpendidikan akan punya normal life yang berbeda. Dan kemudian orang yang kurang pengetahuannya akan balik ke kehidupan lama, dia enggak akan peduli.

"Kalau saya pasti akan berubah normal life saya kalau dalam kondisi seperti ini,” kata Tri.

Sementara, pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan bahwa masyarakat telah mengadopsi kebiasaan-kebiasaan dari pandemi Covid-19.

“Pandemi selama tiga tahun ini akan banyak mengajarkan orang untuk berubah. Sekarang orang cuci tangan, itu bagus. Kemudian jangan kembali seperti sebelum pandemi. Orang akan menyesuaikan diri. Tiga tahun ini membuat mereka sadar tentang kebersihan,” kata Pandu.

Oleh karena itu, ia setuju bahwa vaksinasi dan masker tidak perlu menjadi hal yang wajib bagi masyarakat. Sebab, upaya perlindungan diri dari penyakit menular seharusnya diserahkan kepada individu masing-masing.

“Menurut ilmu Kesehatan Masyarakat, orang itu akan mengadopsi kesehatan masyarakat yang baik kalau dia melihat ada ancaman kepada dirinya.

“Kalau dipaksakan orang itu akan cenderung menentang atau enggak mau. Serahkan saja kepada masyrakat,“ kata Pandu.

‘Status darurat dicabut bukan berarti kita bebas dari Covid‘

Bagi Rinta, seorang warga Tangerang Selatan, keputusan pemerintah yang berencana mencabut status darurat Covid-19 merupakan langkah yang menurut dia tepat karena angka kasus memang sudah menurun dibandingkan dulu-dulu.

Namun, ia tidak sepenuhnya merasa lega. Sebab, virus Covid-19 masih akan tetap ada meski negara sudah tidak berada dalam keadaan darurat.

“Walaupun status darurat Covid-19 itu dicabut bukan berarti otomatis kita bebas dari Covid. Kita harus tetap menjaga diri.

“Bukannya 'oh Covid-19 sudah hilang', tidak. Cuma status itu yang diturunkan dari yang dulu,” ungkap Rinta.

Ia mengaku jikalau nantinya Indonesia sudah dianggap bebas dari status darurat Covid-19, ia tetap akan mengenakan masker ke manapun ia pergi.

Baca juga:

“Karena sudah kebiasaan dan itu cara saya antisipasi kalau dari luar ada penyakit menular. Masih ada antisipasi, ada perlindungannya,” sebutnya.

Pada 2022, saudara laki-laki Rinta sempat tertular Covid-19. Akibatnya, Rinta dan ibunya saat itu khawatir bahwa mereka akan terjangkit penyakit itu juga.

Meski kakaknya kini sudah pulih, Rinta masih mengingat betul gejala-gejala yang dialami kakaknya.

“Karena dari pengalaman keluarga ada yang pernah kena Covid. Sekarang aku bingung cara membedakan antara penyakit Covid-19 atau flu biasa atau lainnya.

“Tapi kalau kita salah artikan itu, kami kira itu flu ternyata itu Covid, bagaimana? Jadi masih di pikiran saya itu,” ujar perempuan berusia 22 tahun itu.

Rinta sendiri sudah mendapatkan vaksin dosis 1 dan dosis 2. Ia tidak merasa ada keperluan untuk mendapatkan vaksin lanjutan karena ia merasa dua dosis sudah cukup untuk melindungi dirinya.

Namun, ia khawatir jika nanti vaksin Covid-19 berbayar, banyak warga yang enggan untuk vaksin karena harus mengeluarkan biaya.

“Kalau biayanya itu masih bisa terjangkau untuk mayarakat enggak apa-apa, tapi saya khawatir kalau ada masyarakat yang masih perlu divaksin tapi biayanya tidak sesuai dengan anggaran mereka. Mungkin itu akan jadi permasalahan.”

Perjalanan tiga tahun melewati pandemi global Covid-19

SARS-CoV-2 atau yang kini dikenal sebagai virus Covid-19 pertama kali terdeteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019.

Pemerintah China memberi tahu WHO tentang 27 kasus "pneumonia menular" di pusat Kota Wuhan. Pihak otoritas menutup pasar basah di Wuhan keesokan harinya, setelah menemukan beberapa pasien adalah pedagang.

Kemudian pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus pertama Covid-19. Dua kasus itu adalah seorang ibu berusia 64 tahun beserta putrinya yang berumur 31 tahun.

WHO secara resmi menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global yang telah merambat ke semua negara pada 11 Maret 2020

Hingga April 2020, wabah Covid-19 telah menyebar ke 34 provinsi dengan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai provinsi dengan kasus Covid-19 terbanyak di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu varian Covid-19 pun terus berevolusi menjadi varian Alpha, Delta hingga Arcturus atau Omicron XBB.1.16 yang terbaru.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved