Pemilu Turki: Gelombang kemarahan warga ke Erdogan atas lambannya penanganan bencana gempa
Di antara puing bekas gempa, sejumlah warga Turki menyalahkan presiden, sementara yang lain mengatakan pada BBC bahwa bencana ini…
Bocah laki-laki yang muram itu, menggunakan anorak berwarna biru tua, dan terlihat bekas luka di dahinya - akibat gempa.
Saat gempa terjadi, Fethiye membekapnya di bawah reruntuhan selama delapan jam sebelum akhirnya mereka berhasil dikeluarkan - bukan diselamatkan tim penyelamat, tapi oleh tetangganya sendiri yang merupakan pengungsi Suriah.
Keluarga ini kehilangan ayah Eren, kakak, adik dan seorang keponakan - semua dimakamkan dalam satu baris.
Fethiye menyalahkan pejabat yang korup, kontraktor bangunan yang tidak kompeten, yang paling utama, Presiden Recep Tayyip Erdogan.
"Pertama-tama adalah dia," katanya, "karena dia memberikan kesempatan kepada orang-orang seperti itu. Para kontraktor menyuap pemerintah, kemudian mereka membangun bangunan. Mereka menyuap dan membangun. Mereka membunuh kami semua."
Gempa bumi tersebut mengungkap kesalahan struktural dalam pemerintahan Presiden Erdogan yang telah lama berlangsung. Ia telah memberikan pengampunan bagi konstruksi ilegal. Para pengembang dapat membangun bangunan rapuh, dan ketika dijerat hukum bisa bebas karena membayar denda.
Dan negara sendiri tidak memiliki pengawasan yang memadai, kata para kritikus, yang menyebabkan minimnya pengawasan dan persiapan.
Berjalan menelusuri sisa-sisa bangunan di Antakya - sebuah wadah peradaban dan agama - dan Anda bisa melihat kondisinya. Sejarah selama berabad-abad telah direduksi sebagai tambal sulam bangunan dan ruang-ruang kosong.
Di luar satu rumah yang runtuh, sebuah kursi berwarna abu-abu besar masih utuh, seolah-olah pemiliknya akan kembali dan duduk di sana. Sejumlah bangunan bertingkat posisinya sudah terbalik, sementara yang lain retak seperti rumah-rumahan yang aneh.
Hampir setiap percakapan di sini diselingi kisah-kisah orang yang meninggal - banyak yang tewas karena menunggu pertolongan yang tak kunjung tiba. Tapi di negara yang sangat terpolarisasi ini, bencana gempa adalah masalah tersendiri.
Para pendukung presiden - yang jumlahnya mendominasi - menggemakan padangan bahwa gempa adalah takdir. Di antara pendukungnya yang konservatif, kepemimpinan Erdogan tetap menjadi sebuah keyakinan.
Kami menjumpai Ibrahim Sener yang tengah duduk di antara reruntuhan Jalan Zumrut di kota tua Antakya, di antara pecahan kaca dan potongan-potongan besi. Pria 62 tahun tampaknya tidak menyadari kehadiran kami, ia tenggelam dalam lamunan dan asap rokoknya.
"Rumah kami retak dari ujung sampai ujung," katanya kepada kami. "Kami mengalami mimpi buruk terbesar di dalam rumah kami. Kami tidak bisa bahagia karena selamat, karena kami tetap kehilangan keluarga dan teman-teman. Tidak ada sambungan telepon, tidak ada internet. Tak satupun bisa menolong yang lainnya. Setelah lima atau enam jam, saya mendapat kabar bahwa kakak saya meninggal."
Kepercayaannya kepada presiden tidak tergoyahkan...
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.