Jumat, 3 Oktober 2025

Alami Trauma setelah Nyamar Jadi Tentara Taliban, Pria Inggris Bunuh Anaknya

Pria Inggris membunuh anaknya karena alami trauma pasca bertugas sebagai mata-mata di Taliban. Ia melihat berbagai peristiwa mengerikan saat bertugas.

Daily Star
Ilustrasi tentara - Seorang pria Inggris mengalami trauma parah setelah bertugas sebagai mata-mata di perbatasan Pakistan-Afghanistan dan menyusup di Taliban. Ia membunuh anaknya sendiri setelah pulang ke Inggris karena mengalami trauma. 

Saat bertugas, dia mengklaim telah dipaksa untuk memandikan dan menguburkan jenazah pejuang Taliban yang mati dan cacat parah.

Dia menyaksikan pemenggalan kepala sebuah keluarga yang dituduh sebagai mata-mata AS.

Pria itu juga diharuskan memegang kepala seorang anak yang dipenggal.

Ilustrasi tentara
Ilustrasi tentara (freepik)

Baca juga: Pangeran Harry Akui Bunuh 25 Orang di Afghanistan selama Jadi Pilot Militer Inggris

Sempat Dikirim Kembali ke Lapangan

Tercatat dalam pembekalannya, ketika mata-mata itu kembali ke Inggris, dia mengalami tingkat stres yang sangat tinggi.

Pria itu menderita kilas balik dan ledakan kekerasan.

Dia diberi liburan yang dibayar penuh, tapi seorang dokter kemudian mengatakan dia tidak mampu melakukan tugas sehari-hari sebagai akibat dari gangguan psikologisnya.

Namun, dia dikirim kembali ke lapangan dan mengalami trauma lebih lanjut.

Dia juga disiksa oleh intelijen Pakistan setelah mereka curiga dia mungkin seorang jihadis Taliban.

Agen tersebut dilaporkan awalnya direkrut oleh MI5 dan diminta untuk mengumpulkan intelijen di masjid-masjid yang dicurigai mempromosikan jihadisme Taliban, seperti diberitakan Independent UK.

Pindah ke M16, penulis laporan pemeriksaan mengatakan, "Pada ketidakstabilan emosional, dia mendapat skor setinggi mungkin."

Hal itu, menurut pengacara mata-mata itu, menunjukkan kesejahteraan dan orang-orang di sekitarnya sepenuhnya diabaikan oleh dinas keamanan Inggris.

“Dia adalah pria yang sangat rentan dan anaknya ditinggalkan dalam keadaan yang paling rentan,” kata Liam Kotrie dari Pengacara Mary Monson dalam komentar yang diterbitkan pada Sabtu (22/4/2023).

Mengutip kebijakan itu, badan intelijen Inggris menolak berkomentar saat dihubungi oleh The Times.

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved