Alami Trauma setelah Nyamar Jadi Tentara Taliban, Pria Inggris Bunuh Anaknya
Pria Inggris membunuh anaknya karena alami trauma pasca bertugas sebagai mata-mata di Taliban. Ia melihat berbagai peristiwa mengerikan saat bertugas.
TRIBUNNEWS.COM - Layanan keamanan Inggris mengirim seorang pria Inggris untuk menyusup ke kamp jihadis di perbatasan Pakistan-Afghanistan.
Pria itu mengalami trauma setelah menyelesaikan misinya, seperti diberitakan The Times, mengutip dokumen pemerintah Inggris yang bocor, Sabtu (22/4/2023).
Ia diduga tertekan secara mental dan nekat membunuh anaknya sendiri di Inggris.
Awalnya, pria yang tidak disebutkan namanya itu dikirim oleh MI6 untuk mendokumentasikan sebuah kamp yang digunakan oleh ekstremis Taliban dan Al-Qaeda.
Ia tetap menjalankan misi itu, meski ia memiliki skor terburuk pada tes yang dirancang untuk mengukur stabilitas emosional.
Laporan tersebut mengklaim, pria yang menjadi mata-mata itu juga memiliki catatan kriminal dan sebelumnya mengalami gangguan mental.
Baca juga: PBB Sebut Staf Perempuannya Dilarang Bekerja oleh Taliban
Sekembalinya ke Inggris setelah penugasannya, tercatat oleh MI6, pria itu berada dalam kondisi tekanan mental yang ekstrim.
Dia kemudian mengaku membunuh anaknya sendiri, yang ditemukan meninggal dengan banyak luka parah.
Pria itu ditangkap dan didakwa dengan pembunuhan.
Juri dalam persidangan berikutnya menerima fakta mata-mata itu menderita penyakit mental, tapi memutuskan dia bersalah atas pembunuhan.
Lokasi dan nama mata-mata itu dirahasiakan, dan persidangannya baru-baru ini diadakan secara rahasia, dikutip dari Daily Star.

Baca juga: 5 Fakta Bom Bunuh Diri di Masjid Pakistan Tewaskan 100 Orang, Sasar Polisi dan Pelaku Diduga Taliban
Menyamar sebagai Tentara Taliban
Tidak diketahui secara pasti kapan mata-mata itu dikirim ke wilayah pegunungan Waziristan di Pakistan, yang merupakan basis teroris Taliban dan al-Qaeda.
Namun The Times melaporkan, ia ditugaskan untuk menyamar sebagai tentara Taliban.
Pegunungan Waziristan menjadi sasaran operasi kontra-pemberontakan oleh pemerintah Pakistan, dan juga telah dibom oleh pasukan AS.
Saat bertugas, dia mengklaim telah dipaksa untuk memandikan dan menguburkan jenazah pejuang Taliban yang mati dan cacat parah.
Dia menyaksikan pemenggalan kepala sebuah keluarga yang dituduh sebagai mata-mata AS.
Pria itu juga diharuskan memegang kepala seorang anak yang dipenggal.

Baca juga: Pangeran Harry Akui Bunuh 25 Orang di Afghanistan selama Jadi Pilot Militer Inggris
Sempat Dikirim Kembali ke Lapangan
Tercatat dalam pembekalannya, ketika mata-mata itu kembali ke Inggris, dia mengalami tingkat stres yang sangat tinggi.
Pria itu menderita kilas balik dan ledakan kekerasan.
Dia diberi liburan yang dibayar penuh, tapi seorang dokter kemudian mengatakan dia tidak mampu melakukan tugas sehari-hari sebagai akibat dari gangguan psikologisnya.
Namun, dia dikirim kembali ke lapangan dan mengalami trauma lebih lanjut.
Dia juga disiksa oleh intelijen Pakistan setelah mereka curiga dia mungkin seorang jihadis Taliban.
Agen tersebut dilaporkan awalnya direkrut oleh MI5 dan diminta untuk mengumpulkan intelijen di masjid-masjid yang dicurigai mempromosikan jihadisme Taliban, seperti diberitakan Independent UK.
Pindah ke M16, penulis laporan pemeriksaan mengatakan, "Pada ketidakstabilan emosional, dia mendapat skor setinggi mungkin."
Hal itu, menurut pengacara mata-mata itu, menunjukkan kesejahteraan dan orang-orang di sekitarnya sepenuhnya diabaikan oleh dinas keamanan Inggris.
“Dia adalah pria yang sangat rentan dan anaknya ditinggalkan dalam keadaan yang paling rentan,” kata Liam Kotrie dari Pengacara Mary Monson dalam komentar yang diterbitkan pada Sabtu (22/4/2023).
Mengutip kebijakan itu, badan intelijen Inggris menolak berkomentar saat dihubungi oleh The Times.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.