Apakah pernikahan siri pada anak-anak di Sulsel meningkat, setelah dispensasi nikah di bawah umur diperketat?
Di atas kertas, angka pernikahan anak di Sulawesi Selatan boleh terlihat turun. Ini salah satunya karena pemerintah memperketat pemberian dispensasi
Dalam beberapa kasus, bukan hanya keluarga saja yang menyimpan rahasia dalam pernikahan bawah tangan seperti ini. Imam desa, yang kerap kali berlaku sebagai penghulu, juga sering kali harus diam-diam.
Abdul Haris Sallang adalah seorang imam di salah satu kelurahan di Makassar. Ia mengaku serba salah setiap kali mendapat tugas menjadi penghulu untuk menikahkan pasangan yang masih berusia anak.
“Ada pertentangan [batin]. Kita takut karena ini bertentangan dengan aturan pemerintah,” katanya, saat ditemui di Makassar, Kamis (30/03).
Meski, ia melanjutkan, dalam ketentuan agama perempuan yang sudah haid dan laki-laki yang sudah mimpi basah sah untuk dinikahkan. “Tapi kita kan, diatur oleh Undang-Undang Pernikahan, dalam hal ini Kementerian Agama.”
Abdul Haris sendiri biasanya meminta keluarga yang hendak menikah menunjukkan bukti bahwa anak tersebut telah mendapat penolakan dispensasi menikah dari KUA.
“Kemudian harus ada surat keterangan kehamilan dari dokter atau puskesmas. Kalau memang sudah hamil, ya, tidak masalah,” sebutnya.
Namun persoalannya, kata Abdul Haris, terkadang “ada anak yang tidak hamil tapi ingin dibikinkan surat keterangan hamil agar dapat dinikahkan”.
“Biasanya alasannya suka sama suka.”
Jika tidak ada solusi yang didapatkan dan baik anak maupun keluarganya tetap memutuskan untuk melangsungkan pernikahan siri, Abdul Haris mengaku “menyerahkan kepada orang tua untuk menikahkan anaknya”.
“Biasanya kita tuntun orang tuanya, kita ajari begini caranya menikahkan anak kita. Kalau kita [imam] langsung [menikahkan], tidak berani. Takut, ada sanksinya,” aku Abdul Haris.
Dampak pandemi dan faktor budaya
Baik Meisy maupun Henky mengatakan, pandemi Covid-19 dan pembelajaran jarak jauh beberapa tahun lalu telah memberikan dampak cukup besar terhadap naiknya angka pernikahan anak.
“Komunikasi anak-anak dalam berpacaran semakin intens, sehingga itu juga memicu,” kata Meisy.
Penggunaan gawai pada saat pembelajaran jarak jauh (PJJ), juga disebut Henry membuat paparan terhadap hal-hal negatif di internet semakin besar.
“Juga meningkatnya kasus kekerasan seksual dan KTD [Kehamilan Tidak Diinginkan] yang menyebabkan anak ‘terpaksa’ menyetujui pernikahan,” jelas Henky.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.