Kepala BIN dinilai 'lewati koridor tugas dan wewenang' buntut pernyataan soal 'aura Jokowi berpindah ke Prabowo'
Pengamat menyebut pernyataan kepala BIN sebagai “bentuk kegenitan untuk terlibat dalam isu yang sedang banyak dibicarakan“. Kepala…
Ditambah lagi respons keras dari politisi terhadap pernyataan Budi Gunawan, yang berarti kepala BIN itu “gagal menghilangkan kesan dan keterkaitan pernyataannya dengan kepentingan politik tertentu”.
Oleh sebab itu, Fahmi menilai BIN perlu menjelaskan maksud di balik penyampaian pernyataan itu.
“Cukup diklarifikasi saja, apa maksudnya? Apakah ini sesuatu yang serius, mungkin bercanda atau bagaimana?... Karena posisinya [sebagai kepala BIN], kewenangannya, itu harus dijelaskan,” tambah dia.
Sementara itu, Gufron mengatakan presiden perlu melakukan menegur kepala BIN, karena sudah melakukan sesuatu di luar fungsi dan tugasnya.
Apalagi jelang pilpres 2024, lanjut Gufron, ada potensi penyalahgunaan wewenang, kekuasaan, yang melibatkan institusi keamanan.
“Semua institusi keamanan, kalau terlibat, misalnya, penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan, untuk tujuan-tujuan yang sifatnya politis, saya kira semuanya berbahaya, mengancam dinamika kehidupan politik karena mereka punya wewenang, otoritas, sumber daya, tenaga, dan alat,” kata Gufron.
Itu tidak berlaku untuk BIN saja, tapi juga “institusi keamanan lain” seperti kepolisian, militer, dan lembaga kemananan lainnya.
“Kalau ada yang salah [presiden] tegur. Jangan dibiarkan. Karena menguntungkan secara politik dibiarkan, giliran tidak menguntungkan, baru tegas. Itu kacau kalau logikanya seperti itu,” tutur dia.
Merusak citra demokrasi dan lembaga
Pernyataan Budi Gunawan yang memicu polemik itu, dinilai Khairul Fahmi, bisa memperburuk citra demokrasi karena “seolah-olah pihak intelijen terlibat mempengaruhi persepsi calon pemilih“ dan BIN harus diingatkan sejak awal mengenai hal tersebut.
“Jangan sampai ada kesan kalau misalnya Prabowo menang dalam pilpres, jangan sampai ada kesan bahwa ini karena didukung atau dioperasi oleh BIN. Itu kan menurunkan makna dari pemilihan umum yang digelar,” lanjut Fahmi.
“Atau bahkan sebaliknya. Jika Prabowo tidak terpilih, misalnya. BIN-nya dianggap salah perkiraan atau gagal operasi, gagal menjalankan misi. Itu memperburuk citra lembaga.”
Bagaimana pun, kata Fahmi menambahkan, kerja BIN yang umumnya di bawah permukaan, senyap, dan rahasia, membuat “cawe-cawe politik” sebenarnya bisa saja dilakukan dan publik maupun pihak-pihak lainnya tidak bisa “menghalangi” karena tidak kelihatan.
Dilihat dari aspek politik kekuasaan, Khairul Fahmi menilai, BIN sebagai lembaga pun “sulit untuk ideal”.
Apalagi lembaga itu secara desain berada di bawah presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepada negara dengan tugas dan wewenang yang memiliki wilayah abu-abu, di antaranya “melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan “memberikan pertimbangan saran dan rekomendasi tentang pengamanan, penyelenggaraan, pengamanan, penyelenggaraan pemerintahan”.
“Masalahnya memang sulit untuk mengawasi kerja-kerja di bawah permukaan atau yang tidak tampak di mata. Artinya sepanjang tidak ketahuan ya mereka aman-aman saja,” kata Fahmi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.