Cerita tentang 'karaage', tidak hanya makanan yang lezat, tapi juga sebuah identitas
Nakatsu di prefektur Oita, Jepang, disebut sebagai ibu kota 'karaage', yang menyimpan sejarah budaya kuliner selama ratusan tahun.
Orang-orang berbaris di sekitar blok untuk mendapatkan karaage favorit mereka. Bahkan mendiang Anthony Bourdain terobsesi dengan karaage: "Saya kecanduan irisan daging ayam goreng ini... Ini adalah kenikmatan yang menimbulkan rasa bersalah.
Saya tahu persis di mana menemukan Lawson di Bandara Internasional Narita, dan saya tidak pernah naik pesawat tanpa membawa karaage.”
Bahkan ada film karaage yang diproduksi oleh Asosiasi Karaage Jepang yang menjuluki camilan gurih ini sebagai "makanan nasional terbaik".
Namun pada dasarnya, karaage adalah hasil akhir dari sejarah multi-generasi yang mencakup benua, zaman penjelajahan, zaman peleburan budaya, kelaparan, dan perang dunia.
Ini adalah ayam goreng yang berbeda dari yang lain dan dianggap sebagai makanan tradisional Nakatsu.
Asal usul karaage dapat ditelusuri kembali ke abad ke-16, ketika misionaris Portugis tiba di pantai Jepang Pulau Kyushu, melalui pelabuhan di Nagasaki dan membawa serta metode menggoreng.
Perlahan-lahan, penduduk Jepang mulai mengadopsi beberapa cara Barat ini, menjadi apa yang sekarang disebut tempura.
Namun, pada saat itu, pola makan orang Jepang sebagian besar adalah pescatarian, pola makan tanpa mengonsumsi daging, yang berkaitan dengan kepercayaan Buddha yang mereka anut.
Mengonsumsi daging ayam tidak dilakukan, sampai tragedi menimpa negara kepulauan itu.
Selama era Kyōhō (1716-1736), kelaparan yang meluas praktis memusnahkan tanaman padi di pulau Kyushu dan menyebabkan puluhan ribu orang meninggal dunia.
Menurut Produksi Ternak di Kyushu (dalam bahasa Jepang), untuk memulihkan keuangan, petani didorong lebih banyak beternak unggas untuk, menjual lebih banyak telur, dan akhirnya orang mulai mengonsumsi daging ayam, setelah unggas petelur mereka melewati masa emas produksinya.
Perubahan besar dalam pola makan orang-orang Jepang berikutnya dimulai pada 1868.
Kala itu, Kaisar Jepang yang baru memulai reformasi masyarakat secara drastis, mengadopsi ide-ide Barat dalam hal industrialisasi, teknologi militer, dan bahkan pola makan masyarakatnya.
Kaisar Meiji membuka perbatasan negara dan mengizinkan lebih banyak pengaruh kuliner dari China dan Barat untuk meresap ke dalam budaya mereka, termasuk mengonsumsi lebih banyak daging.