Konflik Rusia Vs Ukraina
Sebut Rusia Tingkatkan Jumlah Pasukan, NATO: Tidak Ada Deeskalasi
Sekutu NATO mempertanyakan keinginan Putin untuk mendiskusikan krisis Ukraina. NATO sebut tidak ada deeskalasi, dan Rusia justru menambah pasukan.
TRIBUNNEWS.COM - Sekutu NATO mempertanyakan keinginan Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk mendiskusikan solusi atas krisis Ukraina.
Sebelumnya, Putin mengatakan bahwa Rusia tak menginginkan perang di Eropa dan menarik tentaranya di perbatasan Ukraina.
Mengutip dari Al Jazeera, Kamis (17/2/2022), meskipun Putin bersikeras untuk mundur, Amerika Serikat dan NATO mengatakan Rusia masih membangun pasukan di sekitar Ukraina.
Di Ukraina, orang-orang mengibarkan bendera dan memainkan lagu kebangsaan untuk menunjukkan persatuan melawan ketakutan akan invasi pada Rabu (16/2/2022).
Pemerintah Ukraina mengatakan serangan siber yang menghantam kementerian pertahanan adalah yang terburuk yang pernah dilihat negara itu.
Baca juga: NATO Sebut Belum Ada Tanda-tanda Rusia Kembali Menarik Pasukannya di Dekat Ukraina
Baca juga: Rusia: Ukraina Harus Nyatakan Dirinya Non-Blok Jika NATO Secara Terbuka Menolaknya Sebagai Anggota
Sementara Kementerian pertahanan Rusia mengatakan, pasukannya bagian dari pembangunan besar-besaran yang disertai dengan tuntutan ke Barat untuk jaminan keamanan, ditarik kembali setelah latihan di distrik militer selatan dan barat dekat Ukraina.
Namun, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken mengatakan, unit-unit kunci Rusia bergerak menuju perbatasan, bukan menjauh darinya.
“(Dari) apa yang Rusia katakan, dan apa yang dilakukan Rusia, kami belum melihat mundurnya pasukannya,” kata Blinken dalam sebuah wawancara di MSNBC.
“Kami terus melihat unit-unit penting bergerak menuju perbatasan, bukan menjauh dari perbatasan,” lanjutnya.
Seorang pejabat senior intelijen Barat mengatakan, risiko agresi Rusia terhadap Ukraina akan tetap tinggi selama sisa Februari, dan Rusia masih dapat menyerang Ukraina "dengan peringatan yang pada dasarnya tidak ada, atau tidak ada sama sekali".

Analis telah memperingatkan bahwa krisis mungkin bergemuruh selama berbulan-bulan yang akan datang.
“Ini bahkan bisa berlangsung tanpa batas waktu, permainan kucing dan tikus baru saja dimulai,” kata Peter Zalmayev, direktur Inisiatif Demokrasi Eurasia, sebuah wadah pemikir di negara-negara pasca-Soviet.
Tidak Ada Deeskalasi
Sementara itu, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg mengatakan, pergerakan pasukan dan tank bolak-balik bukan merupakan bukti penarikan.
“Apa yang kami lihat adalah bahwa mereka (Rusia) telah meningkatkan jumlah pasukan dan lebih banyak pasukan sedang dalam perjalanan."
"Jadi, sejauh ini, tidak ada de-eskalasi,” katanya sebelum pertemuan aliansi di Brussel.
Stoltenberg kemudian mengatakan, NATO bisa membuktikan kegagalan Rusia untuk menarik kembali pasukannya dengan citra satelit.
Baca juga: NATO Desak Rusia Tarik Pasukannya dari Perbatasan Ukraina
Baca juga: Rusia Sebut akan Tarik Mundur Pasukan di Perbatasan Ukraina, UK: Kami Belum Melihat Bukti Apapun
Dia juga mengatakan NATO telah menugaskan para komandannya untuk menyusun rincian pengerahan kelompok-kelompok tempur ke sayap tenggara aliansi itu.
Inggris akan melipatgandakan kekuatannya di Estonia dan mengirim tank dan kendaraan tempur lapis baja ke republik Baltik kecil yang berbatasan dengan Rusia sebagai bagian dari penempatan NATO, kata Menteri Pertahanan Inggris, Ben Wallace.
Kemudian pada hari Rabu, Gedung Putih mengatakan, Presiden Joe Biden mengadakan panggilan telepon dengan Kanselir Olaf Scholz, dan kedua pemimpin “menegaskan kembali komitmen mereka terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina dan menggarisbawahi pentingnya koordinasi transatlantik yang berkelanjutan pada langkah-langkah diplomasi dan pencegahan, dan penguatan sayap timur NATO jika Rusia menginvasi Ukraina lebih lanjut.”
Sementara Kremlin mengatakan penilaian NATO salah.
Duta Besar Moskow untuk Irlandia mengatakan, pasukan di Rusia barat akan kembali ke posisi normal mereka dalam tiga hingga empat minggu.
Rusia mengatakan tidak pernah berencana untuk menyerang Ukraina tetapi ingin menetapkan "garis merah" untuk mencegah tetangganya bergabung dengan NATO, yang dilihatnya sebagai ancaman bagi keamanannya sendiri.
(Tribunnews.com/Yurika)