Diagnosis autisme pada perempuan lebih rendah karena 'bias gender'
Ratusan ribu perempuan di dunia harus hidup dengan autisme tanpa pernah didiagnosa; menurut berbagai studi, dari 17 orang yang didiagnosa mengalami
"Saya bisa menjelaskan ke teman dan rekan kerja bahwa saya punya kesulitan, dan cara berpikir serta perilaku saya sedikit 'tak biasa'.
"Semuanya ini pada akhirnya mengarah pada perbaikan kesehatan jiwa saya dan hubungan-hubungan yang lebih berarti dan menyenangkan."
Seperti Alis, banyak orang menyatakan diagnosis membantu mereka memahami mengapa mereka berbeda. Juga dalam menemukan penerimaan diri dan pengertian dari anggota keluarga dan teman-teman.
Mendiagnosis autisme juga penting karena banyak yang juga mengalami persoalan kesehatan jiwa sekunder seperti cemas, depresi dan menyakiti diri sendiri (self-harm)
Kenapa begitu banyak perempuan tidak terdiagnosis?

Tanda-tanda autisme pada perempuan dan laki-laki tidak sama. Lebih penting lagi mungkin tanda-tanda itu bisa luput, khususnya dalam penyandang autisme yang tampak seperti tak mengalami masalah apa-apa.
Satu kesulitan yang dialami para peneliti ialah perilaku anak perempuan penyandang autisme terkesan seperti perilaku yang dapat diterima jika ada pada anak perempuan; namun perilaku yang sama dianggap masalah seandainya ada pada anak laki-laki. Perilaku itu adalah sikap pasif, menarik diri, tergantung pada orang lain, senang sendirian, atau bahkan tertekan.
Mereka bisa saja jadi bersemangat dan sangat tertarik pada hal-hal khusus – sebagaimana halnya laki-laki autis – tapi mereka umumya tidak berputar pada area-area yang seperti matematika dan teknologi.
"Sedihnya dalam budaya Barat, perempuan yang memperlihatkan perilaku seperti ini umumnya dirundung atau diabaikan, alih-alih didiagnosis dan dirawat," kata seorang ibu yang anaknya menyandang ADS.
Sulitnya mendapatkan diagnosis

Alis menemui dokternya dengan rangkaian poin yang menjelaskan mengapa ia menduga bahwa ia menyandang autisme dan kemudian dirujuk untuk didiagnosa.
Namun bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana dengan orang-orang yang tak bisa mengekspresikan diri mereka? Atau bisakah seseorang mewakili untuk berbicara?
"Ketika anak saya didiagnosa dengan ASD, saya merasa lega," kata Marilu.
Ia berjuang selama bertahun-tahun untuk membuat dokter dan guru-guru anaknya sama-sama memahami apa yang terjadi pada anaknya, Sophia.