Minggu, 5 Oktober 2025

Penempatan Dana Rp200 Triliun di Bank Perlu Didukung Kebijakan Moneter dan Deregulasi di Sektor Riil

Penempatan dana Rp200 triliun milik pemerintah yang diumumkan pada 12 September 2025 setara 4,5?ri total simpanan perbankan nasional.

Kontan/Carolus Agus Waluyo
DORONG PERTUMBUHAN KREDIT - Ilustrasi. Penempatan dana Rp200 triliun milik pemerintah yang diumumkan pada 12 September 2025 setara 4,5?ri total simpanan perbankan nasional. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan dana Rp200 triliun di bank-bank milik negara (Himbara) merupakan terobosan penting untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan dan investasi.

Program and Policy Director Prasasti, Piter Abdullah, menyampaikan, untuk membuat kebijakan ini efektif, perlu disokong kekuatan permintaan kredit.

Prasasti merupakan lembaga kajian kebijakan publik (think tank) independen, sebagai wadah riset, dialog strategis, dan kolaborasi lintas sektor untuk mendukung pembangunan nasional berbasis data dan analisis objektif.

“Tujuan penempatan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit yang bisa meningkatkan investasi dan pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Agar berhasil, perlu ada kebijakan yang searah dari otoritas moneter serta deregulasi di sektor riil,” ujar Piter dikutip Rabu (24/9/2025).

Baca juga: Hotman Paris Singgung Kebijakan Rp 200 T Menkeu Purbaya, Ingatkan Risiko Dana Kabur ke Singapura

Kebijakan moneter adalah tindakan yang diambil oleh bank sentral untuk mengatur jumlah uang yang beredar dan suku bunga guna mencapai stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi yang sehat, serta stabilitas sistem keuangan.

Sementara deregulasi di sektor riil merupakan proses pengurangan atau penghapusan regulasi dan pembatasan pemerintah terhadap industri dan bisnis di sektor riil, seperti pertanian, perikanan, dan manufaktur.

Adapun penempatan dana Rp200 triliun milik pemerintah yang diumumkan pada 12 September 2025 setara 4,5 persen dari total simpanan perbankan nasional.

Dana tersebut didistribusikan ke BRI, Mandiri, dan BNI masing-masing sebesar Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BRIS Rp10 triliun.

Biaya penempatan ditetapkan sebesar 4%, lebih rendah dari 5–7% pada deposito khusus sebelumnya, sehingga menurunkan biaya pendanaan (funding cost) dan memperkuat kapasitas intermediasi perbankan.

Di sisi lain, data menunjukkan bahwa hingga Agustus 2025, pertumbuhan kredit perbankan baru mencapai 7,56% year on year (YoY) dengan rasio Non Performing Loan (NPL) terjaga di bawah 3%.

Likuiditas perbankan relatif ample, tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 120,25?n terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25%, jauh di atas threshold 10%.

Sayangnya, indikator lain justru menggarisbawahi lemahnya permintaan kredit. Undisbursed loan perbankan mencapai Rp2.372 triliun atau 22,71?ri plafon kredit.

Piter menyampaikan, angka sebesar itu menunjukkan masih banyak dana kredit yang sudah disediakan bank tetapi tidak digunakan oleh dunia usaha. Kondisi ini mengindikasikan lemahnya permintaan kredit.

"Lemahnya permintaan ini dipicu oleh aktivitas ekonomi pasca-COVID yang belum sepenuhnya pulih, ketidakpastian global akibat perang Ukraina, konflik Israel–Palestina, dan perang dagang yang dipicu kebijakan Amerika Serikat,” ujar Piter.

“Oleh karena itu, fokus kebijakan harus diarahkan pada pemulihan kepercayaan usaha dan peningkatan daya beli rumah tangga,” tambahnya.

Meski Bank Indonesia sudah memangkas suku bunga lima kali sepanjang tahun ini—termasuk pemotongan mengejutkan sebesar 50 bps pada Deposit Facility di dalam rapat moneter September ini—dunia usaha masih berhati-hati untuk berekspansi dan rumah tangga enggan menambah utang.

Hal ini menegaskan bahwa ketersediaan likuiditas dan penurunan suku bunga tidak serta-merta mampu mendorong penyerapan kredit. Oleh sebab itu, kebijakan penempatan dana pemerintah di perbankan harus dipadukan dengan langkah fiskal yang lebih langsung agar tercipta permintaan yang nyata.

“Likuiditas bisa disediakan, tetapi tidak bisa serta-merta membangkitkan semangat usaha. Dibutuhkan penguatan daya beli rumah tangga dan kepercayaan dunia bisnis. Pendekatan yang lebih strategis adalah mengombinasikan keringanan likuiditas dengan langkah fiskal langsung yang meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan merangsang minat investasi,” ujar Gundy Cahyadi, Research Director Prasasti.

Sejalan dengan pandangan tersebut, paket kebijakan ekonomi “8+4+5” senilai Rp16,2 triliun yang diumumkan pada 15 September 2025 menjadi salah satu instrumen utama pemerintah untuk mendorong pertumbuhan.

Dengan target penciptaan tiga juta lapangan kerja hingga akhir tahun, paket ini mengkombinasikan stimulus jangka pendek—seperti bantuan beras, insentif pajak, dan program padat karya—dengan inisiatif jangka panjang di sektor koperasi, perkebunan, perikanan, dan akuakultur.

Pendekatan ini tidak hanya menyasar konsumsi rumah tangga, tetapi juga memperkuat fondasi produktivitas ekonomi nasional.

“Langkah cepat seperti bantuan beras dan insentif pajak memberi dorongan daya beli, sementara program jangka panjang di sektor riil bisa memperkuat penciptaan lapangan kerja berkelanjutan. Tantangannya ada pada implementasi. Tanpa pengawasan ketat dan koordinasi yang solid, dampaknya bisa terfragmentasi. Tetapi bila dijalankan konsisten, paket ini berpotensi menjadi katalis nyata pertumbuhan,” ujar Gundy.

“Kami menekankan pentingnya fiskal yang bersifat counter-cyclical. Di tengah lemahnya private sector demand , negara harus hadir lebih kuat. Komitmen Menteri Purbaya membentuk satuan tugas khusus untuk mempercepat belanja adalah langkah tepat. Kini yang terpenting adalah memastikan realisasi berjalan seiring dengan janji,” tambahnya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved