Selasa, 7 Oktober 2025

Mesin Ekonomi Swasta dan Pemerintah Harus Bergerak Capai 8 Persen Pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya bukan soal angka semata, melainkan wajah keseharian rakyat.

Penulis: Erik S
Istimewa
EKONOMI RI - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa Great Lecture bertajuk Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan Inklusif Menuju 8 Persen di Birawa Hall Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Dewan Direktur GREAT Institute Syahganda Nainggolan menyoroti menteri keuangan yang baru Purbaya Yudhi Sadewa.

Menurut Syahganda, publik tengah menaruh harapan baru pada sosok Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Keterangan tersebut disampaikan Syahganda saat membuka Great Lecture bertajuk Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan Inklusif Menuju 8 Persen di Birawa Hall Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

“Kita ini sudah lama tak memiliki Menkeu yang sungguh-sungguh ekonom. Baru kali ini kita punya Menkeu yang belajar langsung dari Paul Romer, pemenang Nobel Ekonomi,” katanya.

Syahganda menyebut langkah awal Purbaya berbeda. Saat hari pertama ke kantor Kemenkeu, bukannya sibuk dengan protokol, ia langsung berbicara soal keharusan membuka dialog dengan publik dan turun menyerap aspirasi.

Baca juga: Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Menkeu Purbaya Bakal Pindahkan Dana Rp 200 Triliun untuk Perbankan

“Beliau mengikuti arahan Presiden agar pejabat mendengar rakyat. Itu awal yang baik,” ujarnya.

Lebih jauh, ia meyakini industrialisasi Indonesia akan kembali ke rel. Tetapi ia mengingatkan: pertumbuhan saja tidak cukup.

“Pertumbuhan bagus saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah bagaimana pertumbuhan itu langsung dirasakan masyarakat. Itulah perlunya growth through equity,” ujarnya.

Optimisme Syahganda tidak berhenti di retorika. Ia membawa hitungan konkret. Koperasi Merah Putih, bila berjalan dengan baik, bisa menyumbang 0,5 hingga 1,2 persen pertumbuhan ekonomi. Program Makan Bergizi Gratis, bahkan, dapat menambah sekitar 0,5 hingga 1 persen.

“Pertumbuhan 8 persen itu bukan wishful thinking,” katanya.

Purbaya dan Mesin Ganda

Ketika tiba gilirannya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa tampil dengan nada realistis namun optimis. Ia mengulas perjalanan panjang ekonomi Indonesia sejak Reformasi 1998.

“Sudah lebih dari dua dekade, pertumbuhan kita sulit keluar dari jebakan sekitar 5 persen,” ujarnya. 

“Ada fenomena middle income trap, hal yang biasa terjadi pada negara-negara yang ingin naik kelas menjadi negara maju.”

Namun, Purbaya menekankan, Indonesia punya kekuatan khas konsumsi domestik yang mencapai 90 persen dari PDB.

“Dengan domestic demand sebesar itu, sebetulnya angka pertumbuhan 6 hingga 6,5 persen bukan mustahil,” katanya.

Lalu ia menyodorkan pembandingan yang sederhana tapi tegas.

“Di era SBY, ketika hanya mesin swasta yang bergerak, pertumbuhan mencapai 6 persen. Di era Jokowi, ketika hanya mesin negara yang bergerak, pertumbuhan bertahan 5 persen. Ke depan, bila kedua mesin digerakkan bersama—negara dan swasta—kita optimistis bisa mencapai 8 persen,” ujarnya.

Langkah teknis pun ia paparkan. Penyerapan anggaran segera dipercepat agar mengalir ke sektor riil. Bersama DPR RI, pemerintah juga akan memberi kelonggaran transfer ke daerah.

“Dengan begitu, daerah bisa bernapas lebih lega,” kata Purbaya.

LPS: Menjaga Kepercayaan

Plt Ketua Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono, melihat acara ini punya arti strategis. “Kegiatan ini positif, meningkatkan kesadaran publik terhadap perekonomian nasional, termasuk tugas LPS,” ujarnya.

Didik menyampaikan catatan kinerja yang, menurutnya, menggembirakan.

“Per Juli 2025, LPS menjamin 643,5 juta rekening, atau 99,94 persen rekening pribadi di Indonesia, serta 15,7 juta rekening BPR-BPRS,” katanya. Data itu menjadi bukti, stabilitas sistem keuangan tetap terjaga di tengah riuh dinamika politik-ekonomi.

Bayangan Middle Income Trap

Di balik keyakinan Syahganda, Purbaya, dan Didik, masih membayang ancaman klasik: jebakan negara berpendapatan menengah. Bank Dunia sudah lama mengingatkan, banyak negara gagal menembus status negara maju karena hanya mengandalkan konsumsi, bukan industrialisasi.

Kasus Brasil sering disebut: sempat menanjak, tapi kemudian stagnan. Begitu pula Afrika Selatan. Sebaliknya, Korea Selatan dan Taiwan berhasil melompat keluar dari jebakan itu berkat strategi industrialisasi agresif, inovasi teknologi, dan investasi besar-besaran pada sumber daya manusia.

Indonesia masih berada di persimpangan. Apakah akan stagnan seperti Brasil, atau menanjak seperti Korea Selatan? Jawabannya, sebagian ada di pundak Menkeu baru ini.

Pertumbuhan dan Keadilan

Di ruang sidang Bidakara hari itu, diskusi seolah berputar pada satu kesimpulan: pertumbuhan 8 persen bukan sekadar mimpi, tetapi agenda yang menuntut keberanian politik dan konsistensi teknokratis.

Syahganda mengingatkan kembali, pertumbuhan hanya akan bermakna bila dibarengi keadilan. “Pertumbuhan bagus saja tidak cukup. Yang penting adalah rakyat bisa merasakan,” ujarnya.

Purbaya memberi formula mesin ganda: negara dan swasta harus digerakkan bersamaan. Didik Madiyono menyodorkan jaminan stabilitas sistem keuangan. Dari tiga arah itu—optimisme, strategi, dan kepercayaan—tersusunlah narasi besar menuju 8 persen.

Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya bukan soal angka semata, melainkan wajah keseharian rakyat. Seperti kata Amartya Sen, “Development is about expanding the real freedoms that people enjoy.” Dan sebagaimana Franklin D. Roosevelt pernah berujar, “The test of our progress is not whether we add more to the abundance of those who have much, it is whether we provide enough for those who have little.”

Maka, bila mesin negara dan swasta kelak benar-benar bergerak bersama, keberhasilan itu hanya layak disebut kemajuan bila menambah ruang kebebasan rakyat—membebaskan dari kemiskinan, memperkecil ketimpangan, dan memulihkan keadilan sosial. 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved