Selasa, 7 Oktober 2025

Pengamat: Dasar Mafia! Harga Beras Naik Rp5.000 Saat Stok Melimpah, Produsen Besar Manipulasi Harga

Pengamat pangan sekaligus Koordinator AMPPI Debi Syahputra mengecam keras praktik manipulasi harga beras oleh produsen besar. 

Editor: Choirul Arifin
Warta Kota/Yulianto
MANIPULASI HARGA BERAS - Pembeli mengecek kualitas beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Selasa (15/7/2025). Pengamat pangan sekaligus Koordinator Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI) Debi Syahputra mengecam keras praktik manipulasi harga beras oleh produsen besar.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat pangan sekaligus Koordinator Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI), Debi Syahputra, mengecam keras praktik manipulasi harga beras oleh produsen besar.

Di tengah stok cadangan beras nasional yang mencapai 4,2 juta ton, yang seharusnya membuat harga stabil, beras justru dijual seharga Rp17.000/kg, meskipun kualitasnya rendah dengan kadar beras patah 30–59 persen. Seharusnya harga hanya Rp12.000/kg. 

“Ini penipuan terhadap konsumen sebesar Rp5.000/kg. Bisa dibayangkan, jika yang dijual 2 juta ton, kerugian konsumen mencapai Rp10 triliun," ujarnya.

"Ini bukan soal stok atau produksi, ini murni ulah mafia pangan yang menahan pasokan dan mengatur pasar demi keuntungan pribadi. Dasar mafia!” tegas Debi, Jumat (15/8/2025).

Menurut Debi, para pendukung produsen besar justru gencar bersuara di media sosial, podcast, dan berbagai forum, mempersoalkan istilah beras oplosan, menuding HPP gabah terlalu tinggi, hingga membangun narasi bahwa Bulog menyerap habis gabah di lapangan.

“Faktanya, Bulog hanya menyerap 8 persen sementara swasta 92 persen. Inilah pendukung mafia yang menyerang balik karena gagal meraih keuntungan sebesar-besarnya,” ujarnya.

Ia menambahkan, klaim sejumlah pengamat bahwa pangsa pasar beras premium hanya 5 persen juga tidak benar, karena data BPS menyebut porsinya mencapai 39,75 persen.

Temuan Kementan menunjukkan beras yang dijual itu layak disebut beras biasa karena kadar patahnya 30–59 persen, jauh di atas standar maksimal 15 persen.

Padahal, harga gabah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mulai turun, sehingga harga beras seharusnya ikut terkoreksi. Namun produsen besar tetap menjaga harga tinggi dengan membeli gabah di atas harga pasar untuk mematikan penggilingan kecil dan menengah.

Debi mengamini pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa struktur industri penggilingan padi timpang.

Produksi padi nasional hanya 65 juta ton gabah kering panen, sementara ada 161.000 penggilingan kecil dengan kapasitas total 116 juta ton per tahun dan banyak yang mati suri. 

Kondisi ini semakin parah sejak 15–20 tahun terakhir, ketika ribuan penggilingan besar dan sedang masuk dengan kapasitas tambahan 50 juta ton, merebut 40–50 persen bahan baku dari penggilingan kecil. 

“Mereka sanggup membeli gabah Rp7.000, sedangkan penggilingan kecil hanya Rp6.500–Rp6.700. Akibatnya ekonomi kecil terganggu, harga beras melonjak, dan rakyat menjadi korban. Ini bukti ketidakadilan ekonomi karena konglomerat menindas pelaku usaha kecil,” ujarnya.

Baca juga: Mentan Amran Bongkar Penyebab Harga Beras Naik Disaat Stok Melimpah

Fenomena ini, lanjut Debi, menjadi antitesis hukum pasar yang mengatakan suplai besar membuat harga turun.

“Faktanya, saat harga gabah di tingkat petani turun, harga di pasar tetap tinggi. Yang berlaku adalah hukum rimba: yang besar memangsa yang kecil. Presiden bahkan menyebutnya sebagai serakahnomic,” katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved