Selasa, 7 Oktober 2025

Pengamat: Dasar Mafia! Harga Beras Naik Rp5.000 Saat Stok Melimpah, Produsen Besar Manipulasi Harga

Pengamat pangan sekaligus Koordinator AMPPI Debi Syahputra mengecam keras praktik manipulasi harga beras oleh produsen besar. 

Editor: Choirul Arifin
Warta Kota/Yulianto
MANIPULASI HARGA BERAS - Pembeli mengecek kualitas beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Selasa (15/7/2025). Pengamat pangan sekaligus Koordinator Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI) Debi Syahputra mengecam keras praktik manipulasi harga beras oleh produsen besar.  

Debi juga menyoroti perubahan pola pasar. Setelah beras premium dikurangi di ritel modern, penjualan di pasar tradisional justru meningkat. 

“Kalau supermarket kosong dan produsen besar berhenti, itu berkah bagi pedagang kecil dan tradisional, seperti kata Pak Mentan. Ini bukti bahwa jika distribusi adil dan mafia ditekan, harga bisa normal kembali. Pasar rakyat yang diuntungkan, bukan kartel,” tegasnya.

Ia menuntut pemerintah bertindak tegas menggunakan UU Perdagangan untuk menghukum penimbun dan penipu harga pangan.

Baca juga: Harga Beras Cenderung Naik di Daerah, Penggilingan Padi Dukung Tindakan Tegas ke Pengoplos

“Afiliasi mereka boleh membela, tapi rakyat sudah tahu permainan ini. Jangan beri ruang bagi mafia menguasai beras, hajat hidup orang banyak,” ujarnya.

Debi juga menyinggung kritik terkait surplus beras dan swasembada.

“Yang menyatakan swasembada dan surplus beras di Indonesia itu lembaga kredibel seperti FAO, USDA, dan BPS. Kalau masih ada yang meragukan, itu sesat pikir dan lemah nasionalisme. Mentan pun sudah tidak lagi mengeluarkan data. Saya benar-benar tidak habis pikir,” ujarnya.

Menurutnya, aneh jika negara memberi subsidi ketahanan pangan besar—tahun ini Rp155 triliun, tahun depan Rp164,4 triliun—namun justru dimanfaatkan konglomerat beras untuk meraup untung.

“Kalau 50 persen saja terealisasi, itu berarti Rp75 triliun digunakan lalu dijual dengan kualitas yang menipu konsumen. Bubar kita ini!” katanya.

Debi mengutip pernyataan Joao Angelo De Sousa Mota yang mundur dari jabatan Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara.

Menurut Joao, penggilingan padi besar berani menjual beras yang mayoritas tidak layak, salah satunya karena praktik pengoplosan. “Ada invasi luar biasa oleh penggilingan besar terhadap petani kita,” ujarnya.

Joao menjelaskan, para penggilingan besar membeli gabah dari petani kecil yang mendapat subsidi pemerintah. Hal ini memberi keuntungan besar bagi mereka karena mendapatkan bahan baku murah dari petani bersubsidi.

Dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan MPR–DPR (15/8/2025), Presiden Prabowo Subianto juga menyampaikan keprihatinannya.

“Sungguh aneh, negara memberikan subsidi—pupuk, alat pertanian, bahkan beras—tapi harga pangan tetap mahal dan tidak terjangkau sebagian rakyat,” katanya. 

Presiden menegaskan, usaha penggilingan padi skala besar harus memiliki izin khusus dari pemerintah. “Kalau mereka tidak bisa bertindak adil, jangan bermain di atas kebutuhan dasar rakyat Indonesia. Kalau tidak, silakan pindah ke bidang lain,” ujarnya.

Langkah ini menjadi bentuk perlindungan terhadap kebutuhan pangan rakyat dan penegasan bahwa sektor vital tidak boleh dikuasai segelintir pemain besar yang mengeksploitasi posisinya untuk keuntungan pribadi.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved