Selasa, 7 Oktober 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

Gubernur Bank Indonesia: Ketidakpastian Ekonomi Global Kian Tinggi Didorong Tarif Resiprokal Trump

Pertumbuhan ekonomi di negara maju dan negara berkembang lainnya juga diprakirakan akan melambat, dipengaruhi dampak langsung ekspor impor.

dok. Bank Indonesia
TARIF IMPOR TRUMP - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Pertumbuhan ekonomi di negara maju dan negara berkembang lainnya juga diprakirakan akan melambat, dipengaruhi dampak langsung ekspor impor. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, ketidakpastian perekonomian global semakin tinggi didorong oleh kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, sejak pengumuman kebijakan tarif resiprokal AS pada awal April 2925 kemudian dilanjutkan oleh retaliasi Tiongkok, justru meningkatkan fragmentasi ekonomi global dan menurunnya volume perdagangan dunia.

"Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2025 diprakirakan akan menurun dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen, dengan penurunan terbesar terjadi di AS dan Tiongkok sejalan dengan dampak perang tarif kedua negara tersebut," kata Perry dalam Konferensi Pers RDG secara virtual, Rabu (23/4/2025).

Baca juga: Gaikindo Sebut Industri Otomotif Indonesia Tak Terdampak Tarif Impor Trump

Perry menyatakan, pertumbuhan ekonomi di negara maju dan negara berkembang lainnya juga diprakirakan akan melambat, dipengaruhi dampak langsung dari penurunan ekspor ke AS dan dampak tidak langsung dari penurunan volume perdagangan dengan negara-negara lain. 

Perang tarif dan dampak negatifnya terhadap penurunan pertumbuhan AS, Tiongkok, dan ekonomi dunia memicu peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global serta mendorong perilaku risk aversion pemilik modal.

"Yield US Treasury menurun dan indeks mata uang dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia (DXY) melemah, di tengah peningkatan ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR)," ujar Perry.

"Aliran modal dunia bergeser dari AS ke negara dan aset yang dianggap aman (safe haven asset), terutama ke aset keuangan di Eropa dan Jepang serta komoditas emas," sambungnya.

Sementara itu, aliran keluar modal global dari negara berkembang masih berlanjut sehingga memberikan tekanan terhadap pelemahan mata uangnya. 

"Memburuknya kondisi global tersebut memerlukan penguatan respons dan koordinasi kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal, mengendalikan stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri," jelas Perry.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved