Minggu, 5 Oktober 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

Akademisi ke Pemerintah RI: Jangan Balas Trump dengan Menaikkan Tarif Impor

kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia ini dipicu oleh dua hal. 

dok. Kompas
TARIF IMPOR TRUMP- Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Bidang Ekonomi Moneter dan Keuangan Telisa Aulia Falianty. Ia menyebut kebijakan retaliasi seperti menaikkan tarif balasan impor dinilai kurang strategis dan justru memicu eskalasi perang dagang yang merugikan Indonesia dalam jangka panjang. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar FEB UI, Prof Telisa Aulia Falianty meminta pemerintah untuk tidak membalas kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) dengan langkah serupa.

Sebab menurutnya, kebijakan retaliasi seperti menaikkan tarif balasan impor dinilai kurang strategis dan justru memicu eskalasi perang dagang yang merugikan Indonesia dalam jangka panjang.

Bahkan, upaya retaliatif seperti menaikkan tarif balasan justru kontraproduktif dan akan memicu efek domino yang memperburuk hubungan dagang bilateral. 

Baca juga: Amerika Naikkan Pajak Impor, IPERINDO Minta Pemerintah Lindungi Galangan Kapal Dalam Negeri

Alih-alih retaliasi, ia menyarankan pendekatan negosiasi yang dilengkapi dengan reformasi regulasi dalam negeri dan penguatan daya saing produk ekspor.

"Jangan sampai kebijakan tarif balasan justru membuat ekspor kita makin tertekan. Solusinya ada di negosiasi, reformasi regulasi, dan diversifikasi pasar ekspor," kata Telisa dalam keterangannya, Minggu (6/4/2025).

Telisa menyebut bahwa kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia ini dipicu oleh dua hal. 

Pertama manipulasi kurs (currency manipulation) serta penerapan hambatan non-tarif (non-tariff barriers) oleh pemerintah Indonesia.

Sehingga menurutnya, pemerintah perlu menyederhanakan hambatan non-tarif untuk membuktikan tidak ada manipulasi kurs.

Lebih lanjut, Telisa menyoroti potensi terjadinya trade diversion dari negara-negara seperti Tiongkok, yang kini menghadapi hambatan ekspor ke AS. Kendati demikian, Indonesia belum tentu menjadi tujuan utama peralihan ekspor tersebut.

Telisa menyarankan pemerintah mengantisipasi kemungkinan masuknya barang impor dalam jumlah besar, sekaligus memperkuat instrumen pengamanan pasar domestik tanpa menciptakan hambatan yang bisa dianggap diskriminatif secara internasional.

"Substitusi pasar ekspor dari AS biasanya diarahkan ke negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Uni Eropa. Indonesia mungkin menjadi pilihan, tetapi bukan yang utama," jelasnya.

Di sisi lain, Telisa menegaskan bahwa perlu ada kebijakan yang jelas. Sebagai anggota ASEAN, BRICS, dan G20, Indonesia disebut perlu memaksimalkan jalur diplomasi multilateral untuk merespons dinamika global. 

Walaupun Presiden Trump cenderung mendorong kesepakatan bilateral, langkah kolektif di tingkat kawasan tetap penting untuk menciptakan posisi tawar yang lebih kuat.

"Multilateral diplomacy harus tetap berjalan. Tapi di saat yang sama, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan sektoral untuk meningkatkan daya saing industri nasional," terang Telisa.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved