Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Internet dan AI, Empat Strategic Initiative Memperkuat Pers Indonesia

Internet dan AI jadi tantangan pers. Dahlan Dahi ungkap empat strategi kunci agar media tetap kuat menjaga demokrasi di Indonesia.

Editor: Glery Lazuardi
TribunBekasi.com/Muhammad Azzam
DAHLAN DAHI - Dahlan Dahi, Ketua Komisi Digital Dewan Pers 2025–2028, memaparkan empat langkah strategis memperkuat pers di era internet dan AI. 

Dahlan Dahi

  • Ketua Komisi Digital dan Sustainability Dewan Pers 2025–2028
  • CEO Tribun Network

Tempat & Tanggal Lahir

Wanci, Kecamatan Wangi-Wangi, Wakatobi, 4 April 1971

Peran di Media Indonesia

Dahlan dikenal sebagai tokoh media yang mendorong transformasi digital di industri pers Indonesia. Ia aktif dalam pengembangan strategi digital dan integrasi teknologi dalam jurnalisme, serta berperan penting dalam membentuk kebijakan media melalui Dewan Pers.

TRIBUNNEWS.COM - KARENA disrupsi internet dan artificial intelligence (AI), setidaknya ada empat strategic initiative untuk membangun pers yang sehat. Pers yang sehat –yang mampu melayani publik dan berpihak kepada masyarakat– sangat penting agar pers bisa menjalankan fungsinya membangun pendapat publik dan menjadi pilar keempat demokrasi.

Masalah Strategis

Internet adalah sistem yang menghubungkan komputer dengan komputer, yang memungkinkan komputer bisa berkomunikasi.

Komunikasi itu bisa terjadi antara satu komputer dengan komputer lainnya (one to one), satu komputer dengan lebih dari satu komputer (one to many) atau lebih dari satu komputer dengan lebih dari satu komputer lain (many to many). Komunikasi tersebut terjadi dalam jaringan.

Tahun 1969 ditandai sebagai kelahiran internet ketika ARPANET (Advanced Research Projects Agency Network) berhasil mengirimkan pesan pertama dari satu komputer ke komputer lain di UCLA. Pada mulanya, internet adalah proyek militer (Departemen Pertahanan AS).

Komputer makin masif dengan hadirnya telepon pintar atau smartphone (2007), yang memiliki kapasitas sistem komputasi yang tidak kalah dari personal computer (PC). Produk yang banyak digunakan publik di era internet, antara lain, Google (didirikan 2018), Facebook, dan Tiktok. Dalam dunia pers, mereka sering disebut sebagai platform.

Artificial Intelligence atau AI (konsep awalnya dimulai tahun 1940-an, yang semula berkembang di dunia penelitian) adalah sistem yang diberi kemampuan berpikir seperti manusia —dengan memanfaatkan kekayaan informasi dari jaringan komputer. ChatGPT adalah produk AI untuk publik, dirilis November 2022 dan segera populer di dunia pers. Lalu disusul Gemini (Google) dan Copilot (Microsoft).

Pers, sementara itu, adalah lembaga yang mencari, mengolah, dan mendistribusikan berita. Berita yang disebarluaskan membentuk pendapat publik, membangun memori kolektif (collective imagination), dan mengontrol jalannya kekuasaan. Karena perannya yang strategis itulah, pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi.

Mesin cetak yang ditemukan Gutenberg memasuki fase komersialisasi 1454. Semula dipakai untuk mencetak kitab suci, temuan Gutenberg ini menjadi semacam “internet atau AI” bagi surat kabar –lembaga yang memungkinkan demokrasi skala besar bekerja dengan efisien.  

Fungsi pers seperti menyebarkan informasi dan menghibur, dengan internet dan AI, makin banyak diambil alih platform dan para kreator –sebutan untuk orang atau lembaga yang, seperti pers –mencari, mengolah, dan menyebarkan– informasi.  Yang sulit digantikan adalah fungsi pers membangun pendapat publik, collective imagination, dan demokrasi. Peran pers sebagai sumber informasi yang kredibel, netral, dan berpihak kepada publik juga sulit digantikan.

Nilai-nilai demokrasi, termasuk kebebasan pers dan kesetaraan perempuan serta hak yang sama bagi semua orang, adalah human invention, diciptakan. Dia tidak lahir bersama lahirnya umat manusia. Nilai-nilai tersebut merupakan collective imagination yang ikut dibangun pers dan komponen masyarakat lainnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia (1945) adalah human invention, di mana pers ikut membangun dan merawatnya.

Korupsi adalah kejahatan –dan pers ikut membangun dan merawat pendapat publik yang negatif tentang korupsi. Berbakti kepada orang tua adalah nilai baik, di mana pers ikut membangunnya. 

Pers adalah invention yang membentuk peradaban umat manusia hari ini –seperti juga lembaga keagamaan dan kebudayaan. Runtuhnya pers, dengan demikian, juga adalah robohnya salah satu pilar peradaban yang penting. Jadi, setiap usaha memperkuat pers harus dilihat sebagai inisiatif menjaga salah satu pilar peradaban.

Masalahnya, internet —selain manfaatnya— berdampak buruk bagi pers. Dampak itu berlapis. Saling berkaitan. Platform, yang lahir di era internet seperti Google dan Facebook (2004), memberi akses kepada semua orang untuk menjalankan fungsi-fungsi tradisional pers, yakni mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi (atau berita dalam istilah pers).

Dengan itu, wartawan, yang menjadi elemen utama pers, menemukan saingan baru. Bukan sesama pers tetapi warga non-jurnalis. Mereka sama-sama membentuk collective imagination.

Dampak Internet

Platform memberi ruangan yang sama kepada pers dan non-jurnalis mendistribusikan informasi —karena itu juga, peran yang sama membentuk pendapat publik. Dengan bantuan platform, jumlah pembaca, penonton, dan permisa (konsumen) pers meningkat. Begitu juga konsumen informasi dari warga non-jurnalis.

Perkembangan yang bagus? Ya, karena jumlah konsumennya bertambah, jumlah pengaruhnya juga membesar. Masalahnya, warga non-jurnalis, yang mendistribusikan informasi tanpa saringan seketat pers, terkadang menghasilkan misinformasi —atau lebih buruk, disinformasi (informasi yang by design menyesatkan atau menipu publik).

Dari sisi bisnis pers, keberlimpahan sumber informasi mengandung makna hancurnya harga iklan, business model utama pers di Indonesia. Hancurnya harga iklan bisa ditebak hasilnya: industri pers mengalami saturasi, mengalami kesulitan finansial, hal yang mengurangi kemampuannya melahirkan produk jurnalistik yang berkualitas. Dengan kata lain, mengurangi kemampuan pers membangun collective imagination yang baik bagi publik.

Dampak lanjutannya, produk jurnalistik menjadi komoditas, kehilangan uniqueness dan kedalaman. Lebih buruk lagi, pers kehilangan kredibilitasnya. Perannya sebagai sumber utama informasi berkualitas juga berkurang. Selanjutnya, pembaca atau pemirsa berkurang, iklannya berkurang, dan spiral saturasinya makin parah. Inilah yang sedang dihadapi pers Indonesia.

Ada lagi yang lebih buruk. Platfom mengambil alih kontrol atas distribusi informasi —karena itu juga, data pembaca. Dengan itu semua, kita menyaksikan runtuhnya kontrol pers atas pembacanya sendiri. Tragisnya, data pembaca menjadi raw material bagi platform untuk mendistribusikan informasi –juga iklan– kepada pembaca secara lebih personal, karena itu lebih relevan. Personalisasi berita dan iklan adalah kemampuan platform yang sulit ditandingi publisher. 

Pengambilalihan kontrol atas pembaca, berikut datanya, berlangsung tanpa kompensasi yang adil atau tanpa kompensasi sama sekali kepada pers (publisher). Situasi itu memungkinkan terjadi karena ada unsur monopoli dari platform dan kurangnya perlindungan hukum dari negara.

Selanjutnya, setelah pembaca dikuasai platform, keruntuhan berikutnya adalah bisnis iklan. Platform kemudian menguasai iklan, bertindak sebagai agensi, dengan menyediakan teknologi yang menghubungkan pemasang iklan dengan inventory milik publisher.

Platform mengendalikan harga iklan —sesuatu yang mungkin, juga karena ada unsur monopoli.

Bukan cuma sebagai agensi, platform juga mencari iklan langsung kepada pemasang iklan. Kemudian, inilah yang terjadi: Secara kolektif, dua platform besar, Google dan Meta,  menguasai 75 persen kue iklan digital nasional. Sementara puluhan ribu perusahaan pers berlomba-lomba memperebutkan sisa-sisa kue iklan.

Pers yang kehilangan pembaca dan iklan seperti raja yang kehilangan prajurit. Pengaruhnya berkurang, termasuk pengaruhnya membangun dan memelihara demokrasi.

Guncangan Baru AI

Spiral kerusakan pers akibat internet belum sepenuhnya selesai. Masih berlangsung. Badai PHK pun masih berlangsung. Dan akan terus berlangsung. Kita sedang menyaksikan spiral kehancuran salah satu lembaga penting dalam masyarakat.

Spiral kerusakan itu belum berhenti bergulung. Pada November 2022, muncul guncangan baru ketika OpenAI merilis ChatGPT untuk publik, disusul Gemini dan Copilot.

AI, seperti internet, bermanfaat bagi publik, juga pers. Tetapi, seperti internet, AI akan memiliki dampak spiral juga kepada pers.

Ada dua elemen utama: produktivitas dan distribusi. Di sisi produktivitas, AI membantu proses produksi pers. Misalnya, mengubah teks menjadi audio dan sebaliknya. Mengubah video menjadi teks atau sebaliknya. AI juga membantu fact checking. Membantu memberikan bahan informasi kepada jurnalis saat mencari dan mengolah informasi menjadi berita.

Masalahnya, aplikasi AI seperti ChatGPT, Gemini, dan Copilot juga adalah platform distribusi berita —seperti juga Google Search atau Facebook Feed di era internet.

Sebagai platform distribusi, AI saat ini sudah berdampak ke publisher berupa penurunan jumlah trafik (pembaca) yang signifikan. Salah satu yang meresahkan adalah fenomena zero click. Berita dari pers muncul di hasil percakapan dengan aplikasi AI tapi user (pembaca) tidak perlu meng-klik berita karena sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Atau, terkadang, situasi lebih buruk terjadi: intisari berita buatan AI yang diolah dari berita-berita publisher tidak disebutkan sumbernya sama sekali.

Setidaknya dua hal merugikan publisher. Pertama, beritanya menjadi raw material gratis, dipakai mesin AI untuk training data –semacam guru bagi AI. Semakin bagus data untuk training, makin pintar AI-nya. Kedua, beritanya disajikan kepada user. Baik yang pertama maupun yang kedua, sebagian besar, tanpa kompensasi yang adil ke publisher sebagai pemilik berita.

Dalam hal ini, muncul isu baru, selain isu monopoli: copyright atau hak cipta. Pers tidak dilindungi UU yang memadai.

Satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam fungsi AI sebagai platform distribusi: AI tidak hanya me-retrieve (menarik) berita, seperti para era search dan feed di internet, tapi juga memiliki kemampuan memutuskan sendiri. AI can make a decision. AI memiliki kapabilitas memformulasikan kalimat baru. Dengan kata lain, AI memiliki kemampuan memproduksi informasi baru. Dia juga membentuk pendapat publik, karena itu memiliki kemampuan membangun collective imagination.

Artinya, dengan AI, pendapat publik dibentuk tidak hanya oleh human journalist dan human non-journalist tapi juga oleh mesin AI.

Saat ini, kita hidup dalam satu dunia di mana ada tiga aktor yang memiliki kemampuan memproduksi informasi dan membentuk pendapat publik: jurnalis, warga non-jurnalis, dan artificial intelligence. Dua yang pertama hasil kerja human intelligence, sedangkan yang kedua adalah machine intelligence. Interaksi ketiga aktor itu mempengaruhi apa yang kita lihat, membentuk dan memberi meaning atas realitas, dan membangun collective imagination.

Pertanyaannya, bagaimana memperkuat pers?

Strategic Initiative

Istilah ini sering dipakai oleh perusahaan, merujuk pada rencana yang bersifat action-oriented, measureable dan long term vision. Ini merupakan kombinasi antara profitabilitas (satu tahun) dan sustainabilitas (lebih dari satu tahun).

Berdasarkan pemahaman pada masalah strategis pers Indonesia akibat internet dan AI, seperti diuraikan di atas, saya melihat ada empat strategic initiative:

1. Business Model

Pers Indonesia perlu mengoptimalkan business model saat ini, yakni advertising. Pekerjaan ini tentu tidak mudah. Bagaimana, pada saat yang sama, mengoptimalkan advertising business model sekaligus mengelola disrupsi yang sedang berlangsung.

Industri pers sedang menghadapi tiga goncangan sekaligus: kondisi ekonomi, disrupsi internet dan AI, serta pemotongan anggaran pemerintah. Jika tiga faktor itu membaik, atau salah satunya membaik, diyakini advertising masih merupakan pilar utama business model pers.

Kedua, mengeksplorasi business model baru: subscription, komisi, marjin, dan lain-lain. Di Indonesia, subscription business model sudah dijalankan sejumlah kecil perusahaan tapi memang butuh waktu untuk menggantungkan pembiayaan jurnalisme berkualitas dari sumber pendapatan ini.

Optimalisasi business model dan eksplorasi business model memiliki tantangan yang berbeda. Pada optimalisasi, yang dikelola adalah declining, penurunan. Tantangannya terletak pada bagaimana menyesuaikan biaya dengan pendapatan. Sedangkan pada eksplorasi, yang dikelola adalah high risk, risiko tinggi. Selain itu, eksplorasi juga membutuhkan resources yang baru, investasi baru, baik berupa orang maupun peralatan atau teknologi serta biaya operasional. Yang tidak kalah penting: eksplorasi membutuhkan waktu untuk sampai ke suatu titik di mana eksplorasi itu berhasil –atau malah gagal total.

Melihat situasi itu, saya melihat Dana Jurnalisme Indonesia –yang sedang diinisiasi Dewan Pers– sebagai salah satu solusi. Ide dasar dari Dana Jurnalisme Indonesia adalah mengalirkan pendanaan baru kepada industri pers yang sedang mengalami saturasi. Sumber dananya dari negara, swasta, dan sumber pendanaan luar negeri.

Pendanaan itu bisa digunakan untuk membangun kapasitas organisasi perusahaan pers, jurnalis, dan karyawan perusahaan pers. Dana jurnalisme juga bisa digunakan untuk membiayai karya jurnalistik yang penting bagi masyarakat tapi kurang ter-discover dengan baik di platform karena “kurang heboh”, seperti menanamkan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, inklusi, toleransi, dan bahkan, semangat entrepreneurship. 

Berita seperti demokrasi, pluralisme, dan toleransi sangat penting bagi masyarakat tapi tidak menarik bagi pengguna platform. Karena kurang memiliki klik dan user engagement yang tinggi, berita-berita seperti itu tenggelam di platform. Pers, karena itu, kurang mendapatkan insentif atau dorongan untuk memproduksi berita-berita penting tersebut.

Dana Jurnalisme Indonesia diharapkan memberikan sistem insentif bagi berita yang penting tapi tidak menarik demi membangun collective imagination yang berfungsi publik, misalnya merawat Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. ⁠ Praktek Monopoli

Saya bukan ahli hukum. Sebagai orang pers, saya memahami pentingnya bantuan regulasi untuk memperkuat pers. Saya melihat bahwa keunggulan perusahaan teknologi atau platform berpotensi mendorong terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi –yang pada akhirnya berpotensi merugikan publik dan mengancam sendi-sendi dasar kehidupan demokrasi.

Menurut UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. 

Praktek monopoli tersebut berdampak buruk bagi masyarakat karena “... satu atau lebih pelaku usaha … dapat menentukan harga barang dan atau jasa.”

Praktek monopoli menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. UU No 5 merumuskan: persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Setidaknya ada tiga area yang potensial masuk ranah praktek monopoli di industri pers dalam kaitannya dengan platform. 

a. Distribusi berita

Kondisi di mana satu atau lebih kelompok usaha memonopoli distribusi berita, baik dari sisi jumlah pembaca yang dikuasai maupun kemampuan teknologi untuk menentukan berita apa yang didistribusikan kepada pembaca/pemirsa/penonton dan mana yang “disembunyikan”.

b. Teknologi Advertising

Platform mengendalikan advertising, termasuk menentukan harga iklan, terkadang secara sepihak, karena menguasai teknologi advertising, baik dari sisi supply (pers/publisher) maupun dari sisi demand (pemasang iklan). Teknologi dari sisi supply disebut Supply Side Platform (SSP), sedang teknologi dari sisi demand disebut Demand Side Platform (DSP).

c. Kue Iklan

Kue iklan terkonsentrasi kepada platform tertentu berpotensi melahirkan praktek monopoli, yang merugikan publisher maupun advertiser.

Ketiga area tersebut selayaknya terus dimonitor dan diawasi. Praktek monopoli adalah isu yang sedang dan akan terjadi.

3. Copyright

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, pasal 43, menyebutkan:

Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi (poin c):  pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Pasal tersebut kurang memberikan perlindungan pada karya jurnalistik berbentuk teks, termasuk jika digunakan oleh perusahaan AI untuk training maupun distribusi berita. Kewajiban platform hanya mencantumkan sumbernya secara lengkap.

Karya jurnalistik perusahaan pers yang beritanya dikutip dan didistribusikan oleh platform berupa cuplikan isi berita dan judul berita, termasuk foto, tidak terlindungi oleh UU secara memadai. Kewajiban platform hanya mencantumkan sumbernya, tanpa perlu memberi hak ekonomi kepada publisher sebagai pemilik berita.

Penjelasan pasal 18 belum mengenal website dan aplikasi (apps) berita. Juga belum mengenal penggunaan berita sebagai raw material untuk training AI serta distribusi berita melalui platform AI. Pasal itu hanya mengenal surat kabar: Yang dimaksud dengan "hasil karya tulis lainnya" antara Iain naskah kumpulan puisi, kamus umum, dan Harian umum surat kabar.

4. Training

AI mengubah proses kerja (business process). Jurnalis dan karyawan perusahaan pers perlu segera memiliki keterampilan menggunakan AI untuk meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas bisa diukur dengan, setidaknya, dua cara: menghemat waktu (time-saving) dan menghemat biaya (cost-saving).

Pelatihan AI bersifat praktis, how to, seperti bagaimana jurnalis memanfaatkan AI untuk, misalnya, mengolah bahan berita berbasis teks menjadi video atau sebaliknya. Bagi tenaga marketing, pelatihan praktis bisa berupa bagaimana menggunakan AI untuk membuat proposal, sejak dari memahami brief klien, mendapatkan insight, hingga menyusun dek presentasi.

Pelatihan AI tidak hanya meningkatkan kemampuan karyawan perusahaan pers tapi juga membantu organisasi perusahaan pers menjadi lebih adaptif, lebih efisien, dan lebih produktif.

Pelatihan adalah pendekatan yang menegaskan pengakuan pada dampak positif teknologi, termasuk internet dan AI. Ini berarti juga bahwa pers harus adaptif, menyesuaikan diri dengan perubahan. Sementara itu, optimalisasi dan eksplorasi business model serta aspek regulasi (praktek monopoli dan copyrights) merupakan usaha mengatasi dampak kerusakan yang dibawa teknologi ke industri pers.

Akhirnya, secara bersama-sama, komunitas pers dan pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan negara, perlu segera mengambil initiative strategic untuk menyelamatkan institusi pers dari spiral kehancuran. Saya meyakini, hancurnya pers adalah runtuhnya salah satu pilar penting peradaban umat manusia yang kita warisi dan nikmati hari ini.

*Artikel ini merupakan pendapat pribadi.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved