Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Perspektif Stoikisme dalam Kehidupan Mahasiswa Baru

Sebagai makhluk sosial, kita sering kali overthinking terhadap lingkungan sekitar. Penelitian juga menunjukkan, mahasiswa sering mengalami kecemasan.

Editor: Sri Juliati
freepik.com/wayhomestudio
OVERTHINKING - Ilustrasi seorang mahasiswa baru yang overthinking, diambil dari freepik.com, Rabu (1/10/2025). Sebagai makhluk sosial, kita sering kali overthinking terhadap lingkungan sekitar. Penelitian juga menunjukkan, mahasiswa sering mengalami kecemasan saat menghadapi ujian atau saat menyusun tugas akhir, terutama skripsi. 

oleh: Moses Julian Yohanes Putra
Mahasiswa S1 Sosiologi FISIP UNS 2025

TRIBUNNEWS.COM - Kecemasan yang dialami mahasiswa merupakan fenomena kompleks yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk akademis, sosial, dan situasional.

Salah satu penyebab utama kecemasan pada mahasiswa adalah tekanan akademik yang tinggi. 

Penelitian oleh Riyanto, mengidentifikasi teknik relaksasi pernapasan sebagai metode efektif untuk mengurangi kecemasan ketika menghadapi skripsi (Riyanto, 2023).

Selain itu, Melliasany dan Perceka menekankan pentingnya memahami bagaimana berbagai faktor emosional dapat mempengaruhi motivasi belajar di kalangan mahasiswa keperawatan ketika menghadapi ujian kompetensi (Melliasany & Perceka, 2021).

Hal ini menunjukkan, kecemasan dapat mengganggu kesehatan mental dan hasil belajar akademis mahasiswa. 

Sebagai makhluk sosial, kita sering kali overthinking terhadap lingkungan sekitar. Penelitian juga menunjukkan, mahasiswa sering mengalami kecemasan saat menghadapi ujian atau saat menyusun tugas akhir, terutama skripsi. 

Kecemasan ini tidak hanya berhubungan dengan kinerja akademik, tetapi juga dapat berdampak pada kesejahteraan psikologis dan kualitas tidur mahasiswa.

Contoh lainnya saat berada di lingkungan pertemanan, kita sering merasa takut atau cemas ketika salah satu teman meninggalkan atau mengecewakan.

Berbagai masalah itu sering muncul di lingkungan sosial. Hal itu merupakan fenomena sosial yang wajar terjadi. 

Namun di sini kita akan membedah permasalahan tersebut dari sudut pandang Stoikisme.

Baca juga: Jejak Digital Cerminan Reputasi, Kemnaker Ajak Mahasiswa Baru Gunakan Media Sosial dengan Bijak

Pada abad 300 SM, lahirlah sebuah aliran filsafat bernama "Stoicism" atau sering kali menyebutnya Stoikisme. Didirikan oleh Zeno dari Citium, tapi dipopulerkan oleh Marcus Aurelius. 

Stoikisme atau Stoicism adalah aliran filsafat yang lahir di Yunani kuno sekitar abad ke-300 SM. Aliran ini didirikan oleh Zeno dari Citium yang kemudian dipraktikkan dan diperkuat oleh tokoh-tokoh besar Romawi seperti Marcus Aurelius.

Saat itu, Marcus Aurelius menuliskan karya "Meditations" yang sebenarnya hanya sebatas catatan pribadi, karena sifatnya personal, isinya terasa jujur, dan relatable. Namun ternyata, ia tidak sekedar menulis, tetapi juga mempraktikkan serta membuktikkan aliran Stoikisme.

Pada dasarnya, Stoikisme mempunyai prinsip "Fokus dengan apa yang bisa dikendalikan dan hidup selaras dengan alam dengan menerima nasib apa adanya." Nilai-nilai dan esensi yang ada dalam Stoikisme berkaitan erat dengan psikologi modern, sosiologi, self development, dan coping mechanisms. 

Berikut poin serta contoh penerapan Stoikisme dalam bersosial:

1. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan

Dilihat dari sudut pandang sosiologi, stoikisme berhubungan dengan Das Sein dan Das Sollen. Stoikisme mengajarkan manusia untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya dan sudah seharusnya mereka hidup sesuai rasio, keadilan, dan kebijaksanaan. 

Sering kali kita meluapkan emosi dan energi terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak bisa mengubah apa pun. Contohnya, kita tidak mengendalikan persepsi pandangan orang terhadap diri kita.

Tidak peduli seberapa keras kita berbuat baik bahkan menolong orang-orang, akan selalu ada banyak pandangan, baik positif maupun negatif. Hal yang bisa dikendalikan adalah bagaimana kita bersikap, apakah sudah sesuai dengan aturan dan norma? 

Dengan mengikuti hal tersebut dan bersikap tenang saat ada orang yang memiliki pandangan berbeda, kita sudah menerapkan salah satu nilai dari Stoikisme.

2. Menghadapi Masalah dengan Tenang

Poin ini kelihatannya sangat sederhana. Namun, sebagian orang masih sering membuat hidupnya keberatan dengan memikirkan hal yang sebenarnya tidak akan mengubah apa-apa. 

Ajaran Stoikisme pun berkaitan erat dengan Teori Fungsionalisme. Teori ini mengajarkan, masalah sosial merupakan disfungsi atau gangguan sementara dalam sistem. 

Agar sistem dapat berjalan, kita harus beradaptasi dan menemukan mekanisme penyesuainnya.

Contohnya, saat ada teman yang memilih menjauh karena mempunyai pandangan negatif terhadap kita, Stoikisme mengajarkan untuk tidak perlu memikirkan apa yang dikatakan orang lain. Cukup menjadikan hal itu sebagai bahan evaluasi.

Jika kita merasa apa yang dilakukan tidak ada yang menyalahi aturan atau norma sosial, tidak perlu terlalu dipikirkan. Berusahlah tenang, menerima keadaan, dan tetap berada pada pendirian diri sendiri.

Yang perlu digarisbawahi, Stoikisme tidak mengajarkan anti-kritik, tapi anjuran untuk menerima masukan dari orang lain. 

Jika merasa relevan dengan pendapat itu, kita jadikan sebagai pelajaran dan evaluasi diri. Jika tidak relevan, biarkan orang lain berpendapat sesuai keinginannya. Sementara kita tetap pada pendirian dan evaluasi diri.

3. Menyikapi Kritik atau Gosip

Fenomena ini sering dan wajar terjadi dalam kehidupan bersosial. Yang perlu diketahui, kritik atau gosip tidak selalu tentang pandangan negatif. 

Dalam berkehidupan sosial, kita sangat membutuhkan kritik untuk membangun dan mengevaluasi diri. Nah, Stoikisme mengajarkan untuk mengambil hal positif dari apa yang terjadi di lingkungan sosial.

Sikapi dengan bijak saat ada orang berpendapat lain tentang diri kita. Jangan langsung mengambil keputusan, orang itu membenci kita. 

Selalu ambil hal positif dari apa yang terjadi di lingkungan sosial. Dengan begitu, hidup kita bisa lebih tenang karena perspektif kita tidak selalu negatif terhadap sesuatu.

4. Menyadari Kefanaan

Terakhir, Stoikisme menyadarkan bahwa cepat atau lambat kita semua akan menghadapi kematian. Oleh karena itu, hargai hidup dengan melakukan segala sesuatu di kehidupan yang dijalani. 

Manfaatkan waktu dengan baik, syukuri kehidupan yang dijalani, dan lakukan meskipun terkadang kita merasa takut dan lelah untuk melangkah. Ada rasa penyesalan yang muncul ketika kita tidak melakukan sesuatu secara sungguh-sungguh.

Pada akhirnya, Stoikisme adalah ajaran yang masih sangat relevan dan dibutuhkan sampai hari ini.

Sebagai makhluk sosial, prinsip Stoik bisa menjadi pegangan atau pandangan untuk tetap merasa tenang, tegar, dan bijak dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan sosial.

Stoikisme tidak sekadar teori filsafat, tapi berkontribusi pada keseimbangan di masyarakat. (*)

Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved