Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Rokok Ilegal dan Ikhtiar Menjawab Ketidakadilan di Madura Jawa Timur

Mereka mengeluh keringat perjuangan mereka menanam tembakau dibalas dengan air tuba.Tembakau saat sudah kering dan siap dijual justru ada rokok ilegal

|
Editor: willy Widianto
IST
ROKOK ILEGAL - Moh Ilyas, Putera Madura Asli, Staf Ahli Wakil Menteri Desa dan Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bercerita soal maraknya peredaran rokok ilegal dan ketidakadilan di Madura, Jawa Timur. 

​Oleh: Moh. Ilyas, Putra Madura Asli, Staf Ahli Wakil Menteri Desa dan Dosen Ilmu Politik Universitas Jakarta

“Kita bisa menghabiskan hidup kita untuk mengutuk ketidakadilan yang menimpa kita, atau kita bisa menanggapi seruan yang jauh lebih besar yang memanggil kita untuk bangkit dengan kekuatan yang teguh melawannya.”
― Craig D. Lownsborough


​TRIBUNNEWS.COM - Akhir-akhir ini perdebatan soal rokok ilegal terus meramaikan ruang-ruang publik. Tak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun, yakni di media sosial perdebatan ini semakin mengemuka.

Khususnya terkait rokok ilegal yang banyak beredar di Madura, Jawa Timur

Dalam perdebatan itu, ada orang-orang yang menganggap rokok ilegal itu positif.

Ia memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan petani tembakau khususnya, dan masyarakat Madura pada umumnya.

Namun di sisi lain ada pula yang menyebut kehadiran rokok ilegal justru menjadi ancaman dan merugikan negara.

Sebab, peredaran rokok ilegal ini tidak terkena pajak dan juga tidak dikenai cukai.

Bahkan akibat isu ini, tak sedikit juga muncul berbagai sebutan yang menyudutkan Madura, seperti ‘‘Madura sebagai Pusat Rokok Ilegal’’, ‘‘Madura Merugikan Negara’’, dan sebutan ‘‘Madura tidak taat Hukum’’.

Baca juga: Menkeu Purbaya Bakal Sikat Oknum Bea Cukai yang Terlibat Peredaran Rokok Ilegal

Sepintas, perdebatan-perdebatan di atas dapat kita pahami sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar saja. Ia bagian dari perbedaan pendapat yang lazim di alam demokrasi.

Namun perdebatan atau tuduhan-tuduhan itu menjadi tidak wajar terutama bagi mereka yang terlibat atau memahami langsung tentang bagaimana persoalan tata niaga tembakau di Madura yang amburadul. 

Berpuluh-puluh tahun lamanya tataniaga tembakau di Madura berada dalam genggaman dan permainan kapitalis.

Mereka yang merupakan pengusaha-pengusaha kelas kakap dan umumnya merupakan pemilik pabrik rokok seperti Gudang Garam, Djarum, hingga Sampoerna, dll, memainkan harga tembakau sesuka hati. 

Di bawah kekuasaan pabrik-pabrik besar mereka, harga tembakau di Madura hancur hingga ke titik nadir. Hampir tiap musim tembakau, keluhan dan tangisan selalu menghiasi para petani.

Mereka mengeluh karena keringat darah perjuangan mereka menanam tembakau dibalas dengan air tuba. Tembakau mereka saat sudah kering dan siap menjadi rokok dihargai dengan harga yang sangat tidak layak. Jangankan untung, tidak jarang justru mereka merugi setelah hasil panen tembakau mereka dijual ke pasar atau pabrik. Kenapa mereka malah rugi, karena biaya produksi tak sesuai dengan harga jual yang dipatok pabrik.

​Tontonan Ketidakadilan

Inilah tontonan ketidakadilan yang menyelimuti dunia tembakau Madura selama ini. Para pengusaha atau mereka yang berafiliasi dengan pengusaha tembakau, boleh jadi turut menikmati ketidakadilan dan permainan harga tembakau.

Sebab, semakin kecil harga yang mereka patok kepada petani tembakau, semakin besar margin keuntungan mereka. 

Ironisnya, berbagai keluhan, teriakan hingga aksi protes keadaan ini tidak banyak terdengar hingga ke luar daerah atau bahkan menjadi isu nasional. Minimnya ‘‘blow up’’ media membuat isu ini sering hilang ditelan angin. Bahkan berbagai aksi demonstrasi yang memprotes harga tembakau yang tidak layak di Madura seringkali hanya menjadi buah bibir sesaat lalu kemudian hilang ditelan waktu. Padahal jika kita telusuri, ada ketidakadilan yang menganga yang dipertontonkan secara telanjang di balik industri tembakau ini.

Baca juga: Soal Isu PHK Karyawan PT Gudang Garam, Ketua Umum KSPSI Soroti Dampak Rokok Ilegal

Apa gerangan ketidakadilan itu? Dalam data Badan Pusat Statistik​ (BPS) disebutkan bahwa Madura merupakan daerah dengan produksi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2022, Madura memproduksi 18.000 ton tembakau. Jumlah ini kemudian meningkat setiap tahun menjadi 19.992 ton (2023), kemudian 43.000 ton (2024), dan diperkirakan akan mencapai 60.000 ton pada 2025. Jumlah ini adalah 64 persen dari Produksi Jawa Timur (109.000 ton), dần 43?n Produksi Nasional (200.000 ton).

Besaran produksi tembakau ini berpengaruh pada penerimaan negara dari sektor tembakau. Dalam data APBN 2024, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) saja sebesar Rp 226.000 Triliun. Artinya jika mengacu pada angka 60.000 ton tembakau nasional yang disupport dari Madura, maka kontribusi Madura terhadap penerimaan negara mencapai Rp 72 Triliun. Sungguh sangat besar, bukan?

Tapi apa timbal balik negara terhadap Madura? Sangat kecil dan jauh dari rasa keadilan. Bayangkan Madura yang memiliki kontribusi Rp 72 Triliun hanya menikmati tidak sampai 1?ri kontribusinya terhadap negara. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang kembali ke Madura hanya sebesar Rp 198.160.580.000. Jumlah itu pun masih dibagi ke 4 kabupaten di Madura, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Bahkan Madura masih berada di bawah 5 kabupaten lain di Jawa Timur, yakni Pasuruan, Malang, Kediri, Jember, dan Bojonegoro. Kok bisa? Karena di lima kabupaten itulah terdapat banyak pabrik rokok yang dinilai menyebabkan konsumsi tembakau yang tinggi sehingga menghasilkan penerimaan cukai yang lebih besar dibanding daerah lainnya.

​Ikhtiar Melawan Ketidakadilan

Dari sini kita menyaksikan dua ketidakadilan sekaligus. Pertama ketidakadilan harga yang ditentukan oleh para kapitalis dan pengusaha besar pemilik pabrik rokok di Madura. Kedua ketidakadilan berupa rendahnya sumbangsih negara terhadap Madura.

Bagi Madura, dampak ketidakadilan ini begitu nyata terjadi. Sebagaimana diungkapkan para ahli seperti Karl Marx, David Harvey, dan Joseph Stiglitz yang menyebut berbagai dampak ketidakadilan ekonomi. Diantaranya kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan ekonomi yang ekstrem, peningkatan konflik dan ketidakstabilan sosial, serta melemahnya daya beli masyarakat yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Ketidakadilan ekonomi juga dapat menghambat pengembangan sumber daya manusia karena kurangnya akses pada pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta menciptakan struktur kekuasaan yang tidak seimbang dalam masyarakat. 

Oleh karena ia memiliki dampak buruk, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Sehingga, banyak pengusaha lokal mulai berpikir keras agar ketidakadilan ini segera diakhiri.

Mereka berpikir sampai kapan mereka akan dikebiri dan hidup di bawah bayang-bayang kaum kapitalis rokok yang tidak berpihak pada rakyat Madura. Sampai kapan harga tembakau rakyat dipermainkan dan tidak mendapatkan perhatian dan harga yang layak?

Maka, para pengusaha lokal kemudian mulai menemukan jawaban. Mereka mulai menemukan cara melawan kezaliman dan ketidakadilan ini dengan cara yang halus. Dengan melibatkan berbagai pesantren yang memiliki modal besar, mereka kemudian bekerjasama untuk membuka sendiri pabrik rokok secara mandiri. Mereka menentukan harga sendiri yang berbeda jauh dari pabrik-pabrik mainstream yang selama ini menjadi sumber patokan harga para petani seperti Gudang Garam, Sampoerna, dan Djarum. 

Dari sini kemudian lahirlah nama-nama besar pengusaha rokok seperti H. Khairul Umam atau yang dikenal dengan Haji Her. CEO PT Bawang Mas Group, sebuah perusahaan rokok dari Pamekasan, Madura ini dikenal sebagai "Sultan Madura" dan aktif membantu masyarakat kurang mampu dengan membangun lebih dari 1.000 rumah gratis untuk warga miskin di Pamekasan. Haji Her juga berjuang untuk kesejahteraan petani tembakau dengan mendukung pembelian tembakau lokal dan menentang praktik pembelian yang merugikan petani. 

Baca juga: Gunakan Kapal Cepat, Penyelundupan 2.500 Karton Rokok Ilegal di Pulau Perdamaran Kepri Digagalkan

Tentu tidak hanya Haji Her, banyak pengusaha lokal yang juga mengikuti jejak langkahnya dan kemudian menjadi ‘tempat lari’ para petani tembakau Madura. Dengan kehadiran para pengusaha lokal ini, para petani akhirnya lebih merasa nyaman dengan pengusaha lokal. Mereka dimanja dengan harga-harga tembakau yang menjulang tinggi.

Para petani banyak menikmati keuntungan, karena tembakau mereka bisa dihargai dengan harga Rp 50.000 sampai dengan Rp 70.000 per kilogram. Sementara sebelum kehadiran mereka, harga tembakau rata-rata hanya berkisar 10.000 sampai 30.000 per kilogram. 

Bahkan bukan hanya petani tembakau yang menikmati hasil kebangkitan pengusaha lokal ini. Selain pengusaha lokal membuat pabrik rokok sendiri, mereka saat ini juga menghidupkan ratusan industri rumahan Pabrik Rokok Rakyat (PRM) yang ada di wilayah Madura. PRM ini telah mampu mendongkrak tenaga kerja yang sangat besar di Madura dan CSR mereka juga banyak dinikmati kaum dhuafa’ dan orang-orang tidak mampu di Madura. Mereka laksana oasis di tengah gersangnya perhatian para kaum kapitalis dan penguasa terhadap rakyat kecil.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan