Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Program Makan Bergizi Gratis

Perjamuan Sulaiman Dalam Piring Makan Bergizi Gratis 

Sebuah kisah penuh hikmah tentang Nabi Sulaiman AS. Sang nabi memohon izin kepada Tuhan untuk menjamu seluruh makhluk di bumi selama satu hari

Editor: Dodi Esvandi
/SURYA/PURWANTO
Siswa menunjukan menu saat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Lowokwaru 3 Kota Malang, Jawa Timur, Senin (13/1/2025). 

Insiden keracunan makanan massal di beberapa daerah, seperti di Sukoharjo, Bandung Barat, dan Kalimantan Utara, adalah alarm keras bahwa ada yang salah dalam rantai pasok dan kontrol kualitas. 

Ini bukan lagi sekadar soal efisiensi, tetapi menyangkut nyawa dan kesehatan anak-anak bangsa. 

Di balik tragedi ini, mengintai risiko yang lebih sistemik: korupsi. 

Dengan anggaran raksasa dan rantai pasok yang rumit, program MBG menjadi lahan subur bagi para "bandit anggaran". 

Lembaga riset Celios (2025), dalam penelitiannya, bahkan mengestimasi potensi kerugian negara bisa 
mencapai Rp 8,5 triliun hanya pada tahun 2025 jika model terpusat ini dipertahankan. 

Angka ini setara dengan lebih dari 12 persen total anggaran tahunan, sebuah kebocoran masif yang bisa melumpuhkan program dari dalam. 

Sujud Kebijaksanaan: Jalan Menuju Solusi Berkelanjutan 

Melihat berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi program MBG, jelas bahwa masalahnya bukan terletak pada sektor kebijakannya, melainkan pada paradigmanya. 

Kita terjebak dalam krisis imajinasi kebijakan, di mana setiap masalah besar selalu dijawab dengan mega 
proyek yang lebih besar, lebih terpusat, dan lebih mahal. 

Pola serupa juga terlihat pada proyek infrastruktur lain yang dibangun lebih untuk prestise atau acara jangka pendek daripada kebutuhan riil masyarakat, yang akhirnya membebani APBN. 

Lalu, apa yang kita bisa pelajari sebagai sebuah solusi? 

Belajar dari kisah Nabi Sulaiman, jawabannya terletak pada momen terpenting: sujudnya. 

Dalam konteks kebijakan publik, sujud bukanlah tanda kekalahan, melainkan puncak kebijaksanaan. 

Ia adalah pengakuan rendah hati atas batas kemampuan kendali terpusat dan penghormatan terhadap 
kompleksitas sistem yang ada di masyarakat. 

Hal ini, menuntut pergeseran fundamental peran negara: dari penyedia (provider) tunggal yang serba bisa, menjadi pemungkin (enabler) yang cerdas dan fasilitatif. 

Tujuannya bukan lagi membangun mesin birokrasi raksasa untuk memproduksi dan mendistribusikan makanan, melainkan menciptakan ekosistem di mana solusi-solusi lokal yang terdesentralisasi, tangguh, dan organik dapat tumbuh subur. 

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved