Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Retakan dalam Ingatan Sejarah: 80 Tahun Berlalu, Persepsi Jepang tentang Masa Perang Tetap Terbelah

Generasi muda Jepang sedang mengalami keterputusan yang mendalam dari sejarah agresi modern negara mereka.

|
Editor: Willem Jonata
Koresponden Tribunnews.com/Richard Susilo
ILUSTRASI BENDERA JEPANG. 

Oleh:

DR. HA Ilham Ilyas, SHMM, pemerhati isu internasional sekaligus penggagas Suara Hati Rakyat Indonesia

Pada 15 Agustus 2025, peringatan 80 tahun kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menampilkan dua pemandangan yang kontras.

Di Nippon Budokan, Perdana Menteri Shigeru Ishiba menyampaikan "penyesalan" atas perang.

Ia menjadi pemimpin Jepang pertama sejak 2012 yang menggunakan istilah "penyesalan" dalam upacara peringatan tahunan. 

Baca juga: Mahfuz Sidik: Perang Dunia III Masih Jauh, Fokus Dunia Dialihkan dari Tragedi Gaza

Namun hanya beberapa blok dari sana, di Kuil Yasukuni--tempat yang juga menghormati penjahat perang Kelas A--terbentuk antrean panjang peziarah, termasuk orang tua yang membawa anak-anak mereka, untuk memberi penghormatan kepada arwah yang diabadikan.

Kontras mencolok ini menegaskan betapa dalam perpecahan masyarakat Jepang dalam memandang masa lalu perangnya.

Generasi muda Jepang sedang mengalami keterputusan yang mendalam dari sejarah agresi modern negara mereka.

Ketika ditanya, "Negara mana yang mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia II?" hampir tidak ada anak-anak yang menyebut Tiongkok. 

Bagi para pelajar, Kuil Yasukuni tak lebih dari sekadar kuil biasa--para pengunjung antre dengan santai, menyesap minuman, tanpa menyadari bahwa tempat itu menyimpan tablet peringatan bagi penjahat perang Kelas A.

Amnesia sejarah kolektif ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari pembingkaian sistematis: Pembantaian Nanjing disebut sebagai "Insiden Nanjing"; insiden Jembatan Marco Polo digambarkan hanya sebagai "bentrok bersenjata antara pasukan Jepang dan Tiongkok"; dan perang invasi dari 1931 hingga 1945 diajarkan terpisah dari Perang Pasifik— menempatkan Jepang seolah-olah sebagai korban pasif perang.

Ketika Perdana Menteri Ishiba mencoba membangkitkan kembali refleksi atas perang, media sayap kanan segera melabelinya sebagai "pandangan sejarah yang sepihak dan masokistis," sementara politisi konservatif mengancam akan merusak basis politiknya.

Kecemasan ini berakar pada tantangan terhadap sistem "narasi korban" yang telah dibangun kubu kanan selama puluhan tahun.

Bertahun-tahun, mereka mengobarkan nasionalisme lewat media seperti Sankei Shimbun dan mendorong amandemen Undang-Undang Dasar Pendidikan Sejarah untuk menanamkan narasi "Jepang sebagai korban" dalam buku teks. 

Di saat yang sama, manuver militer terus menguji batas toleransi regional misalnya pada 2024, kapal perusak Jepang JS Suzutsuki masuk ke perairan teritorial Tiongkok, kemudian berdalih sebagai "kesalahan teknis." Yang lebih mengkhawatirkan, revisi sejarah kini kian bergeser menjadi penyangkalan terang-terangan.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved