Tribunners / Citizen Journalism
Wajah Baru TNI: Antara Kebutuhan Strategis dan Implikasi Pada Demokrasi
Tahun 2025 menandai sebuah fajar baru yang monumental bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Editor:
Dodi Esvandi
Lonjakan pagu anggaran pertahanan hingga Rp245,2 triliun pada 2025, atau naik hampir 47 persen dari alokasi awal, hanyalah uang muka.
Biaya sesungguhnya terletak pada keberlanjutan.
Mengoperasikan enam Kodam baru, 14 Kodaeral, 20 Brigade, dan lebih dari 100 Batalyon Teritorial baru memerlukan investasi finansial yang masif dan berkelanjutan.
Ini bukan hanya soal pengadaan alutsista, tetapi juga biaya personel, pembangunan infrastruktur, serta pemeliharaan dan operasional rutin yang akan membebani APBN secara permanen.
Tanpa pertumbuhan ekonomi yang kuat dan alokasi yang konsisten, ada risiko nyata bahwa unit-unit baru ini menjadi "macan kertas"—struktur yang gagah di atas kertas namun kosong secara kapabilitas.
Ini adalah pertaruhan fiskal yang sangat besar, yang menuntut disiplin anggaran dan perencanaan jangka panjang yang cermat agar tidak mengorbankan sektor-sektor pembangunan esensial lainnya.
Jalan Rawan Demokrasi: Bayang-Bayang Dwifungsi
Tantangan kedua, dan mungkin yang paling krusial bagi publik, adalah implikasinya terhadap demokrasi.
Penamaan eksplisit unit-unit baru Angkatan Darat sebagai "Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan" (Yonif TP) telah memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil.
Misi mereka yang secara terbuka diarahkan untuk mendukung program pembangunan nasional, seperti ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah tertinggal, berisiko mengaburkan batas antara fungsi pertahanan murni dan domain sipil.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh konteks yang lebih luas, terutama pasca revisi UU TNI yang memperluas jumlah kementerian dan lembaga sipil yang dapat diduduki oleh perwira aktif.
Meskipun pemerintah, baik di eksekutif maupun legislatif, berulang kali menegaskan bahwa ini bukan kebangkitan Dwifungsi ABRI era Orde Baru, persepsi publik yang memiliki memori kolektif atas trauma masa lalu tidak bisa diabaikan.
Ketika militer terlibat secara struktural dalam proyek-proyek pembangunan di tingkat lokal dan menduduki pos-pos birokrasi sipil, potensi terjadinya gesekan dengan otoritas sipil, kooptasi fungsi pemerintahan, dan penyempitan ruang demokrasi menjadi sangat nyata.
Ini adalah isu kebijakan publik yang paling fundamental: bagaimana kita menyeimbangkan kebutuhan pertahanan negara yang tak terbantahkan dengan keharusan untuk menjaga supremasi sipil yang menjadi pilar utama demokrasi?
Epilog: Wajah Baru, Pertaruhan Lama
Pada akhirnya, restrukturisasi TNI 2025 adalah sebuah pedang bermata dua.
Ia menawarkan postur pertahanan yang lebih modern, kuat, dan tersebar untuk menjawab ancaman nyata di era yang penuh ketidakpastian.
Ia juga memberikan solusi pragmatis bagi persoalan internal institusi yang telah lama berlarut.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.