Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pancasila: Antara Retorika dan Realita

Pancasila semestinya menjadi napas dalam kurikulum yang menumbuhkan welas asih, nalar publik, dan solidaritas.

HandOut/IST
PENERAPAN PANCASILA - Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo. Dalam opininya di Tribunners, Rabu (18/6/2025) Katyono mengulas seputar kajian apakah Pancasila hidup sebagai ideologi yang bekerja, atau sekadar menjadi mantra kosong yang bersemayam di ruang retorika. 

Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2024 sebanyak 7,20 juta orang.

Sedangkan jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2025 naik sebesar 83 ribu orang menjadi 7,28 juta orang. Artinya, jumlah pengangguran tumbuh 0,08 persen sepanjang Februari 2024 hingga Februari 2025. —sebagian besar akibat gelombang PHK dan ketidakstabilan ekonomi global—ini mencerminkan bahwa keadilan sosial belum dirasakan banyak warga.

Ketergantungan ekonomi pada komoditas ekspor dan utang luar negeri juga menandai rapuhnya kemandirian ekonomi nasional, yang sejatinya menjadi jiwa ekonomi kerakyatan dalam Pancasila.

Kesenjangan ini kian menonjol ketika pemerintah lebih banyak memberikan insentif kepada investor besar daripada memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Koperasi, sebagai sokoguru ekonomi rakyat dalam amanat Pasal 33 UUD 1945, justru terpinggirkan dalam lanskap kebijakan ekonomi nasional.

Belum lagi persoalan ketimpangan pembangunan antar wilayah—semua ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum menjadi panduan utama pembangunan.

Sukarno pernah berkata, "Negara Indonesia yang kita cita-citakan bukan hanya merdeka dalam politik, tetapi juga merdeka dalam ekonomi, dan merdeka dalam kebudayaan."

Hal itu ditegaskan kembali oleh Sukarno dalam konsep Trisakti yang menjadi prinsip kemerdekaan sebuah bangsa yang merdeka haruslah berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa Pancasila bukan hanya alat pemersatu, tetapi juga visi transformasi struktural. 

Namun hari ini, tekanan neoliberalisme global, dominasi teknokrasi dalam pemerintahan yang mengesampingkan faktor-faktor sosial dan ideologis, serta maraknya populisme agama dan etnonasionalisme menjauhkan Pancasila dari khitahnya sebagai ideologi emansipatoris.

Jürgen Habermas memperingatkan bahwa demokrasi yang kehilangan basis etis akan mengalami delegitimasi publik. 

Jika Pancasila tidak menjadi filter nilai dalam demokrasi kita, maka ia akan digerus oleh polarisasi dan politik identitas yang merongrong kohesi sosial.

Di bidang hukum dan keadilan, sila kemanusiaan yang adil dan beradab seringkali kalah oleh praktik hukum yang formalistik dan diskriminatif. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Ketika aparat negara lebih cepat menindak aktivis lingkungan daripada mafia tambang, dan lebih sigap membungkam kebebasan berekspresi daripada menindak ujaran kebencian dan korupsi yang sistematis, maka jelas Pancasila belum hadir dalam sistem hukum kita sebagai etika substantif.

Tak jarang hukum direkayasa demi kepentingan politik penguasa, melemahkan lembaga-lembaga pengawasan, dan membungkam oposisi. Fenomena ini menandai lemahnya roh keadaban dalam sistem demokrasi kita.

Lebih memprihatinkan lagi, korupsi yang meluas di berbagai sektor pemerintahan menunjukkan bahwa integritas moral sebagai fondasi etika publik telah tergerus.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved