Tribunners / Citizen Journalism
Pancasila: Antara Retorika dan Realita
Pancasila semestinya menjadi napas dalam kurikulum yang menumbuhkan welas asih, nalar publik, dan solidaritas.
Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2024 sebanyak 7,20 juta orang.
Sedangkan jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2025 naik sebesar 83 ribu orang menjadi 7,28 juta orang. Artinya, jumlah pengangguran tumbuh 0,08 persen sepanjang Februari 2024 hingga Februari 2025. —sebagian besar akibat gelombang PHK dan ketidakstabilan ekonomi global—ini mencerminkan bahwa keadilan sosial belum dirasakan banyak warga.
Ketergantungan ekonomi pada komoditas ekspor dan utang luar negeri juga menandai rapuhnya kemandirian ekonomi nasional, yang sejatinya menjadi jiwa ekonomi kerakyatan dalam Pancasila.
Kesenjangan ini kian menonjol ketika pemerintah lebih banyak memberikan insentif kepada investor besar daripada memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Koperasi, sebagai sokoguru ekonomi rakyat dalam amanat Pasal 33 UUD 1945, justru terpinggirkan dalam lanskap kebijakan ekonomi nasional.
Belum lagi persoalan ketimpangan pembangunan antar wilayah—semua ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum menjadi panduan utama pembangunan.
Sukarno pernah berkata, "Negara Indonesia yang kita cita-citakan bukan hanya merdeka dalam politik, tetapi juga merdeka dalam ekonomi, dan merdeka dalam kebudayaan."
Hal itu ditegaskan kembali oleh Sukarno dalam konsep Trisakti yang menjadi prinsip kemerdekaan sebuah bangsa yang merdeka haruslah berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa Pancasila bukan hanya alat pemersatu, tetapi juga visi transformasi struktural.
Namun hari ini, tekanan neoliberalisme global, dominasi teknokrasi dalam pemerintahan yang mengesampingkan faktor-faktor sosial dan ideologis, serta maraknya populisme agama dan etnonasionalisme menjauhkan Pancasila dari khitahnya sebagai ideologi emansipatoris.
Jürgen Habermas memperingatkan bahwa demokrasi yang kehilangan basis etis akan mengalami delegitimasi publik.
Jika Pancasila tidak menjadi filter nilai dalam demokrasi kita, maka ia akan digerus oleh polarisasi dan politik identitas yang merongrong kohesi sosial.
Di bidang hukum dan keadilan, sila kemanusiaan yang adil dan beradab seringkali kalah oleh praktik hukum yang formalistik dan diskriminatif. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Ketika aparat negara lebih cepat menindak aktivis lingkungan daripada mafia tambang, dan lebih sigap membungkam kebebasan berekspresi daripada menindak ujaran kebencian dan korupsi yang sistematis, maka jelas Pancasila belum hadir dalam sistem hukum kita sebagai etika substantif.
Tak jarang hukum direkayasa demi kepentingan politik penguasa, melemahkan lembaga-lembaga pengawasan, dan membungkam oposisi. Fenomena ini menandai lemahnya roh keadaban dalam sistem demokrasi kita.
Lebih memprihatinkan lagi, korupsi yang meluas di berbagai sektor pemerintahan menunjukkan bahwa integritas moral sebagai fondasi etika publik telah tergerus.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kunci Jawaban Pendidikan Pancasila Kelas 5 SD Kurikulum Merdeka Halaman 66: Ayo, Berkarya |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Pendidikan Pancasila Kelas 5 SD Kurikulum Merdeka Hal 26: Lingkungan Sekitar |
![]() |
---|
Pegawai BUMN Kecolongan Ideologi Ekstrem Kanan, DPR Minta Pemerintah Belajar dari Orde Baru |
![]() |
---|
Momen Baleg DPR Terpukau Penjelasan Ahmad Basarah Soal Pancasila dalam Pembahasan RUU PIP |
![]() |
---|
Rapat dengan Baleg DPR, Basarah Usul RUU Pembinaan Ideologi Pancasila Berganti Nama Jadi RUU BPIP |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.