Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pancasila: Antara Retorika dan Realita

Pancasila semestinya menjadi napas dalam kurikulum yang menumbuhkan welas asih, nalar publik, dan solidaritas.

HandOut/IST
PENERAPAN PANCASILA - Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo. Dalam opininya di Tribunners, Rabu (18/6/2025) Katyono mengulas seputar kajian apakah Pancasila hidup sebagai ideologi yang bekerja, atau sekadar menjadi mantra kosong yang bersemayam di ruang retorika. 

Bung Karno menyebut Pancasila sebagai "philosophische grondslag" dan "weltanschauung" bangsa Indonesia: bukan sekadar semboyan, melainkan dasar berpikir, bersikap, dan bertindak dalam seluruh aspek kehidupan kebangsaan.

Dalam pidato legendarisnya pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan, "Negara Indonesia bukan milik satu golongan, satu agama, satu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

Sebuah penegasan bahwa Pancasila bukan untuk kepentingan elite atau mayoritas semata, melainkan rumah bagi semua.

Kini, delapan dekade sejak dirumuskan, Pancasila belum sepenuhnya menjelma menjadi apa yang disebut Hannah Arendt sebagai "living principle"—prinsip hidup yang menyatu dalam praksis sosial dan kebijakan negara.

Ia lebih sering hadir sebagai dekorasi wacana daripada penuntun dalam pembuatan undang-undang dan arah kebijakan pembangunan di segala bidang.

Ironisnya, ia kerap digunakan sebagai alat pembungkam kritik atas nama stabilitas, bukan sebagai cahaya moral yang membebaskan.

Dalam ranah ekonomi, misalnya, sila keadilan sosial belum sepenuhnya sanggup mempersempit ketimpangan yang menganga.

Laporan Oxfam (2021) menyebutkan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional.

Data CNBC Indonesia Intelligence Unit menunjukkan separuh lebih, uang di bank dikuasai hanya 0,02 persen segelintir orang kaya.

Data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat Gini Ratio Indonesia masih berada di angka 0,388, menandakan masih adanya ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin. Gini ratio di Indonesia menunjukkan terus mengalami fluktuasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Gini ratio September 2024 sebesar 0,381, sedikit meningkat dari 0,379 pada Maret 2024.

Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook melaporkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.

Berbeda jauh dari data Bank Dunia, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Sementara tingkat pengangguran terbuka berdasarkan laporan World Economic Outlook edisi April 2025, yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF), menempatkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengangguran terbesaar di Asia Tenggara.

Sementara negeri jiran Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, hingga Filipina cenderung memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved