Tribunners / Citizen Journalism
Mandat Pendidikan Dasar Gratis, Antara Idealisme dan Realitas
Menggratiskan biaya pendidikan dasar sembilan tahun, dari SD hingga SMP merupakan perwujudan nyata dari amanat konstitusi
Editor:
Eko Sutriyanto
Oleh : Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, dan Pemerhati Pendidikan
TRIBUNNERS - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Mei 2025 yang mewajibkan pemerintah menggratiskan biaya pendidikan dasar sembilan tahun, dari SD hingga SMP, termasuk di sekolah swasta tertentu, merupakan keputusan berani dan sarat nilai keadilan.
Secara prinsip, ini merupakan perwujudan nyata dari amanat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan akses pendidikan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Akan tetapi di balik semangat luhur tersebut, terbentang kenyataan kompleks yang tidak bisa disederhanakan hanya dengan niat baik atau narasi politik. Menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh murid SD dan SMP secara menyeluruh, termasuk di lembaga swasta, bukanlah tugas ringan—melainkan sebuah lompatan kebijakan yang menuntut kesiapan fiskal, kelembagaan, dan regulasi yang matang.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) 2024, jumlah Sekolah Dasar (SD) di Indonesia mencapai 149.034 sekolah, sementara jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) tercatat sebanyak 43.098 sekolah.
Jika kita menggunakan asumsi sederhana bahwa untuk mengelola satu sekolah SD secara ideal dibutuhkan dana Rp 2 miliar per tahun, dan satu sekolah SMP membutuhkan Rp 3 miliar per tahun, maka total kebutuhan anggaran menggratiskan pendidikan dasar nasional akan mencapai angka sangat besar.
Baca juga: Sekolah Gratis, SD-SMP Swasta Harus Masuk Sistem Penerimaan Online
Mari kita lakukan kalkulasi cepat, yaitu SD: 149.034 x Rp 2 miliar = Rp 298.068.000.000.000 (Rp 298 triliun); SMP: 43.098 x Rp 3 miliar = Rp 129.294.000.000.000 (Rp 129 triliun); total kebutuhan anggaran: sekitar Rp 427 triliun per tahun.
Kalkulasi tersebut baru untuk pendidikan dasar sembilan tahun.
Belum menyentuh pendidikan menengah (SMA/SMK), yang terdiri dari 14.675 SMA dan 14.325 SMK. Juga belum termasuk biaya pengadaan guru, peningkatan kualitas pendidikan, pembangunan gedung baru, pengadaan lahan, dan kebutuhan operasional dinas-dinas pendidikan daerah.
Aneka biaya tersebut merupakan beban anggaran luar biasa besar, dan tentu saja, sulit dipenuhi sepenuhnya dari APBN yang juga harus membiayai sektor lain seperti kesehatan, infrastruktur, pertahanan, dan ketahanan pangan.
Putusan MK memang membuka ruang bagi sekolah swasta "tertentu" agar tetap bisa memungut biaya dari murid.
Namun, membedakan antara sekolah swasta "elite" dan "non-elite" bukanlah perkara sederhana. Banyak sekolah swasta hidup di tengah keterbatasan, mengisi celah yang tidak mampu dijangkau oleh sekolah negeri, terutama di daerah terpencil.
Mereka tidak memiliki akses ke anggaran negara, dan bertahan hidup dari SPP dan iuran yang dibayar oleh orang tua murid. Jika kebijakan ini diterapkan tanpa kejelasan klasifikasi dan dukungan konkret, maka banyak sekolah swasta yang akan kolaps.
Apabila sekolah swasta diwajibkan menggratiskan pendidikan tanpa ada jaminan dana setara dari pemerintah, maka mereka akan kesulitan membayar gaji guru, merawat fasilitas, atau bahkan menjalankan kegiatan belajar mengajar.
Artinya, alih-alih memperluas akses pendidikan, kebijakan ini bisa berdampak sebaliknya, yakni mengurangi jumlah lembaga pendidikan aktif karena ketidakmampuan bertahan secara ekonomi.
Salah satu risiko besar dari penerapan kebijakan pendidikan gratis secara menyeluruh, yaitu penurunan kualitas.
Pendidikan gratis memang membuka akses, tapi tanpa pembiayaan yang mencukupi, maka sekolah-sekolah akan mengalami kekurangan dalam segala hal—dari sarana-prasarana, buku, pelatihan guru, hingga kegiatan ekstrakurikuler.
Belum lagi beban administratif yang akan meningkat drastis.
Pemerintah pusat dan daerah harus membentuk mekanisme baru untuk menyalurkan dana langsung ke sekolah negeri dan swasta, lengkap dengan pengawasan dan audit. Hal demikian memerlukan sistem baru yang transparan, efisien, dan bebas dari praktik korupsi—sebuah tantangan besar dalam birokrasi kita yang masih sering bermasalah dalam hal tata kelola anggaran.
Jika pemerintah ingin memberlakukan kewajiban pendidikan gratis juga bagi sekolah swasta, maka perlu langkah-langkah afirmatif seperti pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sekolah-sekolah tersebut, pengurangan beban pajak lainnya, atau pemberian subsidi operasional yang setara dengan biaya minimal pengelolaan sekolah.
Tanpa ini, kebijakan hanya akan menjadi beban tambahan tanpa kompensasi adil.
Hal yang juga penting adalah pemberian ruang fleksibel bagi sekolah swasta agar tetap menarik SPP atau Uang Sumbangan Pendidikan (USP) selama belum ada jaminan pendanaan penuh dari pemerintah.
Artinya, pelaksanaan putusan MK tidak boleh dilakukan dengan pendekatan hitam-putih, melainkan adaptif terhadap kondisi nyata di lapangan.
Sebagai keputusan hukum, putusan MK tentu mengikat. Namun, implementasinya harus dilakukan dengan tahapan yang realistis dan berorientasi pada keberlanjutan.
Pemerintah tidak bisa serta-merta menggratiskan seluruh pendidikan dasar tanpa kematangan rencana transisional.
Perlu peta jalan (roadmap) yang melibatkan, yakni identifikasi sekolah swasta yang layak menerima subsidi; evaluasi kebutuhan riil dana operasional setiap jenjang pendidikan; skema pembiayaan jangka panjang dari APBN dan APBD; pemberdayaan dana CSR swasta atau dana filantropi pendidikan; insentif bagi sekolah swasta biasa; dan revisi UU dan aturan turunan agar sinkron dengan putusan MK.
Sebagai catatan akhir, tidak ada yang meragukan niat baik Mahkamah Konstitusi. Pendidikan adalah hak dasar sembilan tahun setiap warga negara, dan negara memang seharusnya hadir sepenuhnya dalam menjamin pemenuhannya.
Namun, pelaksanaan kebijakan sebesar ini memerlukan perhitungan cermat dan keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat, sektor swasta, dan lembaga pendidikan itu sendiri.
Pendidikan dasar gratis merupakan cita-cita luhur, tetapi untuk mencapai tujuan, kita tidak bisa menutup mata dari keterbatasan konkrit.
Retorika tanpa dukungan fiskal hanya akan menghasilkan kebijakan pincang. Yang kita butuhkan bukan sekadar kebijakan adil secara hukum, tetapi juga adil secara praktis dan berkelanjutan. Hanya dengan itu, pendidikan benar-benar bisa menjadi tangga kemajuan bagi semua, bukan sekadar janji yang tidak kunjung terpenuhi.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Tak Cuma Gibran, Subhan Pernah Gugat Anies Baswedan ke MK soal Capres Harus WNI |
![]() |
---|
Dewan Pers Dukung Uji Materi Pasal 8 UU Pers ke MK: Aturan Dinilai Abstrak dan Multitafsir |
![]() |
---|
Kondisi Belum Kondusif Akibat Demo, Pemerintah dan DPR Minta Sidang di MK Secara Daring |
![]() |
---|
Ahli Sebut Alasan Kondisi Fisik Tidak Relevan Bedakan Usia Pensiun Guru dan Dosen |
![]() |
---|
HNW Dukung Putusan MK Agar DPR Segera Revisi UU Zakat: Maksimalkan Manfaat dan Potensi Zakat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.