Tribunners / Citizen Journalism
Kisah Singapura: Negeri Mini, Prestasi Maksimal
melalui pendidikan berkualitas dan kepemimpinan visioner, Singapura menjelma sebagai salah satu kekuatan ekonomi
Oleh : Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
TRIBUNNERS- Di tengah kawasan Asia Tenggara yang dipenuhi negara-negara berkembang dengan populasi besar dan sumber daya alam melimpah, berdiri satu negara kecil yang mencolok dalam hal kemajuan dan kemakmuran, yakni Singapura.
Negara kota ini sering disebut sebagai "the little red dot" di peta dunia, namun dampaknya terhadap kawasan dan dunia jauh lebih besar dari ukurannya. Dengan populasi hanya sekitar 6 juta jiwa, Singapura telah menjadi bukti nyata bahwa ukuran wilayah dan jumlah penduduk bukan penentu mutlak keberhasilan suatu bangsa.
Justru, melalui pendidikan berkualitas dan kepemimpinan visioner, Singapura menjelma sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan intelektual di dunia.
Salah satu pilar utama keberhasilan Singapura adalah investasinya secara luar biasa dalam sektor pendidikan. Dua universitas utamanya, National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU), secara konsisten menempati peringkat atas dalam daftar universitas terbaik dunia.
Dalam QS World University Rankings dan Times Higher Education, NUS dan NTU bersaing ketat dengan universitas-universitas top dunia seperti Harvard, Oxford, dan MIT.
Pencapaian kampus terebut bukan terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari kebijakan strategis yang menyadari bahwa sumber daya manusia adalah aset paling berharga bagi negara yang miskin sumber daya alam ini.
Baca juga: Asa Sekolah Tanpa Kasta, Cerita Perjuangan Mulia Pendidikan Gratis Bagi Anak Kaum Papa
Kebijakan pendidikan Singapura menekankan pada mutu, meritokrasi, dan inovasi. Sejak usia dini, siswa diarahkan pada jalur pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan minat mereka. Sistemnya ketat, tapi sangat terstruktur dan jelas tujuannya.
Pemerintah menyediakan dana besar untuk riset, pengembangan, dan kerja sama internasional. Maka tak heran, inovasi dan teknologi menjadi ujung tombak ekonomi Singapura, menjadikannya pusat keuangan, logistik, dan bioteknologi di Asia.
Namun keberhasilan pendidikan dan ekonomi Singapura tak lepas dari fondasi kokoh yang diletakkan oleh sang pemimpin, Lee Kuan Yew. Sosok ini adalah contoh nyata bagaimana kepemimpinan visioner, berani, dan tegas dapat mengubah nasib sebuah bangsa.
Saat Singapura merdeka pada tahun 1965, banyak pihak meragukan masa depannya. Tidak punya sumber daya alam, dikelilingi oleh negara-negara besar, dan menghadapi konflik etnis serta pengangguran yang tinggi. Tetapi Lee Kuan Yew tidak tenggelam dalam pesimisme. Ia membawa visi bahwa Singapura akan menjadi pusat perdagangan dan keuangan dunia. Ia percaya bahwa disiplin, hukum yang kuat, anti-korupsi, dan pendidikan bermutu merupakan jalan untuk mencapainya.
Visi pembangunan Singapura yang dirintis oleh Lee Kuan Yew benar-benar terwujud dengan cepat dan mencengangkan dunia. Dalam waktu beberapa dekade, negara kecil yang dahulu dianggap tidak punya masa depan ini berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu negara paling maju di dunia, khususnya dalam hal ekonomi dan pendidikan. Berdasarkan data IMF tahun 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) nominal Singapura diperkirakan mencapai US$ 564,77 miliar.
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang hanya sekitar 6,04 juta jiwa, maka PDB nominal per kapita Singapura melampaui US$ 93.500. Angka ini bukan sekadar mengindikasikan daya saing ekonomi tinggi, tetapi juga menunjukkan kualitas hidup yang jauh lebih baik bagi warganya jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
Singapura tidak melulu mengandalkan sektor industri atau perdagangan konvensional, melainkan juga tumbuh melalui sektor jasa, keuangan, teknologi, dan pendidikan kelas dunia yang menopang pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.
Kejutan semakin terasa ketika Singapura dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara yang memiliki jumlah penduduk jauh lebih besar. Thailand, dengan PDB sebesar US$ 546,22 miliar dan populasi 65,9 juta jiwa, hanya mencatatkan PDB per kapita sekitar US$ 8.280. Filipina, yang berpenduduk 114,1 juta jiwa dengan PDB US$ 497,49 miliar, hanya mencapai PDB per kapita sekitar US$ 4.360.
Begitu pula dengan Vietnam, yang meski mencatat pertumbuhan ekonomi stabil dengan PDB US$ 490,97 miliar dan penduduk 100,3 juta jiwa, tetap menghasilkan PDB per kapita sekitar US$ 4.900. Malaysia, yang sempat menjadi negara induk Singapura sebelum berpisah, memiliki PDB US$ 444,98 miliar dan penduduk 34,5 juta jiwa—PDB per kapitanya pun hanya sekitar US$ 12.880, jauh di bawah Singapura.
Bahkan Indonesia, negara dengan PDB total tertinggi di kawasan sebesar US$ 1,429 triliun dan penduduk lebih dari 284 juta jiwa, hanya mencapai PDB per kapita sekitar US$ 5.020. Perbandingan ini menunjukkan bahwa ukuran ekonomi total tidak serta-merta mencerminkan kesejahteraan rakyat, dan justru Singapura yang kecil tapi fokus pada pengembangan manusia melalui pendidikan dan kepemimpinan efektif, berhasil melampaui tetangganya dalam hal kemakmuran per individu.
Artinya, meskipun PDB Indonesia secara total jauh lebih besar karena populasi yang sangat besar, dalam hal produktivitas dan kemakmuran individu, Singapura unggul jauh. Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran ekonomi nasional tidak cukup untuk menilai kualitas hidup warganya; produktivitas individu dan nilai tambah per orang jauh lebih penting.
Hal ini menjadi tamparan halus bagi negara-negara dengan populasi besar, seperti Indonesia dan Filipina. Negara-negara ini memiliki potensi luar biasa dari sisi jumlah tenaga kerja dan pasar domestik, namun belum mampu memaksimalkan potensi tersebut. Ketimpangan pendidikan, birokrasi lambat, serta kepemimpinan yang kurang fokus pada pembangunan jangka panjang menjadi kendala utama.
Singapura menjadi bukti bahwa dengan strategi yang tepat, bahkan negara kecil bisa melampaui negara-negara besar di sekitarnya. Bahkan, dalam hal PDB, Singapura kini telah melampaui Malaysia, yang dulunya merupakan negara induk saat mereka masih tergabung dalam federasi. Hal demikian sungguh ironis dan sekaligus inspiratif. Lee Kuan Yew memilih keluar dari federasi Malaysia karena ia yakin Singapura bisa maju dengan caranya sendiri, dan sejarah membuktikan bahwa ia benar.
Keberhasilan Singapura bukan untuk ditiru mentah-mentah, karena konteks sosial dan budaya Indonesia sangat berbeda. Namun, banyak pelajaran penting yang bisa diambil. Pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama, bukan hanya dari segi anggaran, tetapi juga dari segi kualitas dan relevansi. Pemerintah diharapkan berani menanamkan nilai “meritokrasi” dalam arti positif dan integritas sejak dini, memotong jalur korupsi, serta berinvestasi pada riset dan teknologi.
Penting juga bagi negara merancang stabilitas lingkungan politik, ketegasan hukum, dan birokrasi yang efisien—seperti yang dilakukan Singapura. Dengan populasi besar, Indonesia memiliki potensi menjadi kekuatan besar dunia. Tapi potensi saja tidak cukup. Harus ada kemauan kuat, visi jangka panjang, dan keberanian dalam mengambil keputusan sulit—seperti yang dilakukan Lee Kuan Yew dahulu.
Singapura telah membuktikan bahwa negara kecil pun bisa melompat jauh, asal dipimpin dengan visi, integritas, dan fokus pada pembangunan manusia. Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya punya peluang serupa, tetapi semuanya bergantung pada pilihan kebijakan hari ini. Bila kita ingin melompat seperti Singapura, maka saatnya berhenti beralasan dan mulai bekerja cerdas.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
VIDEO WAWANCARA EKSKLUSIF Subhan Sang Penggugat Gibran: Saya Tak Pansos dan Cari Popularitas! |
![]() |
---|
Bareskrim Respons Rencana Lisa Mariana Lakukan Tes DNA Pembanding di Singapura Soal Polemik Anak |
![]() |
---|
Satpam PN Jaksel Ungkap Pernah Dititipkan Tas Berisi Dolar Singapura dan 2 Hp oleh Hakim Djuyamto |
![]() |
---|
Singapura Samakan Vape dengan Narkoba, Indonesia Mengkhawatirkan, Bakal Hadapi Lonjakan Pengguna |
![]() |
---|
Ditantang Lisa Mariana Tes DNA Ulang di Singapura, Pihak Ridwan Kamil: Saya Nyatakan Kami Tolak! |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.