Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Multikrisis Menghantui Indonesia

Aneka isu tampaknya tidak boleh dianggap remeh, terutama oleh para penguasa yang sedang mendapat kesempatan

|
Editor: Eko Sutriyanto
HO/Wahyu Handoko
Wahyu Handoko, pemerhati masalah sosial 

Oleh: R Wahyu Handoko SSos MM, Pemerhati Masalah Sosial

KEGADUHAN di negeri ini nyaris tak ada hentinya pascaperhelatan demokrasi dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden.

Inilah potret nyata salah satu dari konsekuensi demokrasi yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai bentuk ugal-ugalan praktik demokrasi yang menghalalkan segala cara.

Aneka isu nampaknya tidak boleh dianggap remeh, terutama oleh para penguasa yang sedang mendapat kesempatan, baik yang berada di daerah maupun di tingkat nasional.

Masalah gelombang masifnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), berdasarkan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sebanyak 44.069 buruh terkena PHK pada Januari-Februari 2025 dari 37 perusahaan. Adapun 37 perusahaan tersebut ada yang menutup pabriknya, pailit, dalam PKPU, efisiensi, dan relokasi.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pun juga menyampaikan gelombang PHK ini dirasakan oleh para anggotanya, terutama yang berada di kawasan industri.

Hal ini perlahan tapi pasti akan memunculkan keresahan sosial yang berujung pada menipisnya kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah yang sedang berkuasa.

Melemahnya daya beli masyarakat dengan aneka penyebab seperti pendapatan yang menurun, ketidakpastian ekonomi, kebijakan pemerintah yang tidak tepat, tentu akan mempengaruhi industri padat karya untuk turut berhemat dan mengurangi produksi.

Pemasaran berkurang, pendapatan berkurang, otomatis kesejahteraan turut berkurang.

Baca juga: Amnesty International: UU TNI Masih Mengandung Pasal Bermasalah yang Mengancam Kehidupan Demokrasi

Premanisme melalui pemaksaan pemberian THR oleh ormas, nilai tukar Rupiah yang melemah (Rp 16.620 per 25 Maret 2025), tentu juga akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia.

Praktik ketidakadilan masih banyak terjadi, tebang pilih pada masalah hukum tak dapat dipungkiri akan turut memperjelas adanya pelemahan atau ketidakpastian hukum.

Lemahnya penegakan hukum masih banyak terjadi di mana-mana.

Hukum seolah berjalan sesuai pesanan kekuasaan, transaksional kental dengan aroma korupsi.

Hukum dijadikan “mainan” hanya untuk sekadar mengganti pemainnya, ini pun dirasakan oleh banyak pengamat terkait dengan masalah korupsi besar-besaran di anak perusahaan PT Pertamina.

Praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga masih terjadi, salah satu faktanya adalah pembunuhan guru di Papua Pegunungan.

Ini menambah deretan ketegangan sosial terutama di daerah Papua dan sekitarnya. Negara wajib hadir agar anak-anak didik, guru, dan para pemangku kepentingan di bidang pendidikan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik.

Pengesahan UU TNI yang mengabaikan suara-suara kritis dari kalangan sipil semata-mata ingin “berbagi” posisi pada jabatan sipil memperparah keadaan yang digambarkan seolah hendak kembali ke rezim otoritarianisme, militeristik seperti di masa Orde Baru.

Suara-suara kritis para aktivis dan cendekiawan hanya dianggap omong-omong belaka, bagaikan anjing menggonggong kafilah berlalu.

Kekuasaan seolah berpusat pada penguasa tunggal, yaitu sang Presiden.

Teror kembali dipertontonkan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang gemar mengkritisi kebijakan Pemerintah.

Baca juga: Kemhan Tegaskan Pertahanan Siber yang Dilakukan TNI Bukan Untuk Memata-matai Masyarakat

Kita tentu mengapresiasi hal-hal yang baik seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), tapi kiranya hal tersebut tidak sekadar dijadikan pemanis program.

Dalam kenyataan di lapangan, program MBG masih sangat dirasakan serba minimalis, baik menu, lambatnya pendistribusian, maupun target sasaran yang baru 2,05 juta orang dari target 82,9 juta orang (Tempo, 17 Maret 2025).

Terkait dengan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah, hal ini menambah daftar keluhan bagi pengusaha, terutama di sektor pariwisata dan transportasi.

Jumlah hunian hotel dan perhelatan aneka kegiatan di hotel turut menurun.

Menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), okupansi hotel turun antara 20–40 persen, dan ini juga mengancam terjadinya PHK di sektor perhotelan.

Kemiskinan juga masih nampak di mana-mana, baik di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan maupun di kota-kota kecil dan pelosok daerah lainnya.

Menurut data BPS, kemiskinan pada September 2024 adalah sebesar 24,06 juta orang, tetapi bila menurut fenomena gunung es, pastilah jumlah kemiskinan itu jauh lebih besar.

Manakala penguasa tidak cerdas dalam menjalankan aneka kebijakan, maka tidak tertutup kemungkinan kemiskinan akan jauh lebih besar.

Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah saat ini dan dianggap baik tentu kita berikan apresiasi yang tinggi.

Tetapi kerja aparatur negara tidak boleh hanya berhenti di permukaan, sekadar pemberitaan yang menghebohkan masyarakat namun tidak diselesaikan secara tuntas.

Lihat pada kasus pagar laut yang melibatkan konglomerat versus pejabat kecil, tunjangan kinerja dosen ASN yang lima tahun hingga saat ini belum dibayarkan, gangguan peribadatan pada kelompok minoritas, banyaknya oknum polisi yang ugal-ugalan (abuse of power), dan lain-lain.

Negara harus hadir melalui aparatur negara terkait yang berkualitas, berintegritas, dan bermartabat.

Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, atau pejabat negara lainnya kiranya tidak sekadar berbicara atau asal berbicara, apalagi berbicara yang berpotensi menyakiti hati rakyat.

Diperlukan Tim Komunikasi yang andal, berbasis pada data, fakta, dan disampaikan secara baik tanpa menghakimi kelompok masyarakat yang kritis. Bukankah demokrasi menuntut keterbukaan para pihak untuk bersuara sebagai salah satu bentuk cinta kita kepada negara Indonesia?

Tak dapat dipungkiri, kualitas Sumber Daya Manusia khususnya aparatur negara tak boleh asal ada, asal bapak senang (ABS) seperti di masa lalu.

Sumber Daya Manusia di Pemerintahan saat ini setidaknya diperlukan karakter yang baik, kompetensi yang memadai/unggul, dan visi yang jelas, merujuk pada Asta Cita Presiden Prabowo.

Asta Cita yang telah disusun secara baik kiranya tidak berhenti sekadar menjadi slogan belaka.

Biarkanlah kelompok-kelompok kritis seperti para cendekiawan, aktivis mahasiswa, aktivis buruh, dan aktivis lainnya tetap bersuara sejauh berbasis pada data dan fakta yang terjadi di masa pemerintahan ini.

Semestinya Presiden dan Aparatur Negara lainnya tak mudah marah dengan kritik-kritik yang konstruktif, jangan malah berstatement yang kontra produktif.

Pemerintah semestinya bertindak bijak dalam upaya efisiensi ini.

Efisiensi tentu diperlukan, namun mesti sungguh-sungguh terukur dan memperhatikan dampak perekonomian lainnya, termasuk dampak PHK yang akan terjadi.

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved