Tribunners / Citizen Journalism
Rasuah di Bulan Puasa
Bulan suci Ramadan tak membuat koruptor berhenti. Simak berita lengkapnya!
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Calon Pimpinan KPK 2019-2024
TRIBUNNEWS.COM - Entah apa yang berkecamuk dalam benak para koruptor itu sehingga mereka tetap melancarkan aksinya di bulan suci Ramadhan, bulan di mana orang-orang beriman diwajibkan berpuasa agar menjadi pribadi yang bertakwa.
Padahal di bulan puasa ini setan-setan Allah belenggu.
Ternyata tanpa godaan setan pun mereka tetap melakukan rasuah alias korupsi.
Barangkali karena setan itu telah menyatu ke dalam diri mereka.
Diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, Sabtu 15 Maret 2025.
Keesokan harinya, Ahad 16 Maret 2025, KPK menetapkan enam dari delapan orang yang ditangkap itu sebagai tersangka pemotongan anggaran untuk fee atau komisi di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) OKU.
Keenamnya adalah Ferlan Juliansyah selaku Anggota Komisi III DPRD OKU, M.
Fahrudin selaku Ketua Komisi III DPRD OKU, Umi Hartati selaku Ketua Komisi II DPRD OKU, Nopriansyah selaku Kepala Dinas PUPR OKU, M.
Fauzi alias Pablo selaku swasta, dan Ahmad Sugeng Santoso juga selaku swasta.
Jika ditilik dari nama-nama, kemungkinan besar mereka adalah Muslim.
Apakah mereka juga sedang menunaikan ibadah puasa?
Kita tidak tahu pasti.
Sebab, perintah puasa ditujukan kepada orang-orang beriman dan seorang Muslim belum tentu beriman.
Korupsi sama dengan mencuri.
Dalam Islam, hukuman untuk pencuri adalah potong tangan.
Berbeda dengan hukum negara di Indonesia, di mana hukuman bagi pencuri didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan jika mencurinya itu dengan cara korupsi, maka hukumannya berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sayangnya, rata-rata hukuman bagi koruptor di Indonesia sangat rendah, yakni sekitar 3-5 tahun, sehingga pemidanaan korupsi di sini gagal menciptakan efek jera atau deterrent effect dan terapi kejut atau shock therapy.
Akibatnya, para koruptor itu tak pernah kapok.
Para calon koruptor pun tak pernah takut.
Konsekuensinya, korupsi di Indonesia tetap merajalela, termasuk di bulan puasa ini.
Padahal, setiap malam di bulan Ramadhan, masjid-masjid, musala-musala, dan surau-surau di seluruh Indonesia selalu penuh sesak oleh orang beribadah.
Namun, di saat yang sama, korupsi juga merajalela.
Ternyata, kesalehan kita masih sebatas kesalehan individu, belum bertransformasi menjadi kesalehan sosial yang menjadikan hati kita tidak tega untuk mengambil hak orang lain melalui korupsi.
Ada dua faktor pemicu korupsi, yakni niat dan kesempatan.
Niat adanya di dalam hati, kesempatan adanya di celah-celah aturan.
Jika ada niat tapi tak ada kesempatan, tidak jadi itu korupsi.
Sebaliknya, jika ada kesempatan tapi tak ada niat, tidak jadi pula itu korupsi.
Apakah niat korupsi para penyelenggara negara di OKU itu muncul di bulan puasa?
Bisa ya, bisa tidak.
Bisa saja niat itu muncul sebelum bulan puasa, tapi eksekusinya terjadi di bulan puasa.
Dikutip dari sebuah sumber, KPK menyebut tiga anggota DPRD OKU itu menagih fee proyek yang telah disepakati sejak Januari 2025 ke Nopriansyah karena sudah mendekati Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri 1446 H.
Nopriansyah memang menjanjikan fee yang diambil dari sembilan proyek di OKU tersebut cair sebelum Lebaran.
Pada 13 Maret 2025, Nopriansyah menerima uang Rp22 miliar dari Fauzi selaku pengusaha.
Nopriansyah juga telah menerima Rp15 miliar dari Ahmad.
Uang itu diduga akan dibagikan kepada Anggota DPRD OKU.
Pada 15 Maret 2025, KPK melakukan OTT terhadap para tersangka itu.
KPK pun mengamankan uang Rp26 miliar dan mobil Fortuner dari OTT tersebut.
Sektor keagamaan ternyata juga tak luput dari korupsi.
Bahkan, proyek pengadaan mushaf Al-Qur'an, kitab suci umat Islam pun tak luput dari korupsi.
Dua Menteri Agama pun terlibat korupsi.
Dikutip dari berbagai sumber, Kementerian Agama yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai integritas justru beberapa kali tersandung kasus korupsi.
Inilah korupsi di sektor keagamaan.
Misalnya, kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU) dan Penyelenggaraan Haji yang melibatkan Menteri Agama periode 2001-2004, Said Agil Husin Al Munawar.
Selama menjadi menteri, ia menerima uang sebesar Rp45 miliar.
Pada 7 Februari 2006, Said divonis lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan serta wajib membayar uang pengganti kerugian negara Rp2 miliar subsider 1 tahun penjara.
Lalu, kasus korupsi pengadaan Al-Qur'an dan Laboratorium Madrasah enam tahun berselang.
Korupsi terjadi dalam pengadaan tahun anggaran 2011 dan 2012.
Sebanyak empat orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zulkarnaen Djabbar, anggota Badan Anggaran DPR RI 2009-2014, Dendy Prasetia, anak Zulkarnaen, Ahmad Jauhari, pegawai Direktorat Bimas Islam Kementerian Agama, dan Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq, politikus Partai Golkar.
Djabbar bersama anaknya, Dendy Prasetia, dan Fahd El Fouz broker terbukti menerima total uang senilai Rp143 miliar dari Direktur PT Sinergi Pustaka Indonesia, Abdul Kadir Alaydrus.
Fahd menerima Rp34 miliar.
Djabbar divonis 15 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider sebulan kurungan.
Dendy 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Keduanya juga diwajibkan membayar penggantian uang negara sebesar masing-masing Rp57 miliar dalam waktu sebulan.
Adapun Ahmad Jauhari divonis 8 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan penjara, dan Fahd El Fouz 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Berikutnya, kasus korupsi Dana Penyelenggaraan Haji dan Dana Operasional Menteri (DOM).
Kasus ini menjerat Menteri Agama periode 2009-2014, Suryadharma Ali.
Pada 22 Mei 2014, KPK menetapkan Suryadharma yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai tersangka atas kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2010-2013.
Suryadharma curang dalam pengangkatan petugas panitia penyelenggara haji di Arab Saudi dan memanfaatkan sisa kuota haji untuk beberapa orang yang dipilihnya agar bisa naik haji gratis.
Ia juga terbukti menggunakan DOM yang bersumber dari APBN untuk kepentingan pribadinya, seperti berobat anaknya serta keperluan wisata.
Total DOM yang diselewengkan oleh Suryadharma mencapai Rp18 miliar.
Suryadharma divonis 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan serta uang pengganti Rp18 miliar.
Siapa menyusul?
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Korupsi Kuota Haji, 7 Saksi dari Petinggi dan Perwakilan Biro Travel Diperiksa di Polda Jatim |
![]() |
---|
Sosok Bupati Jember Gus Fawait yang Disebut Cuek pada Wakilnya hingga Diadukan ke KPK |
![]() |
---|
Usut Proses Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas PUPR Situbondo, KPK Periksa Eks Bupati Karna Suswandi |
![]() |
---|
KPK Dalami Peran 5 Petinggi Travel Haji: Usut Cara Dapat Kuota Tambahan dan Permintaan Uang |
![]() |
---|
Terungkap di Sidang Jiwasraya: Cadangan Premi Rp11 Triliun, Tapi Dilaporkan Hanya Rp4,6 Triliun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.