Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pemilu 2024

Pilpres 2024 dalam Perspektif Kisah Aji Saka

Menurut Saussure, semiotika adalah kajian yang membahas tentang tanda dalam kehidupan sosial dan hukum yang mengaturnya.

Editor: Hasanudin Aco
Kolase Tribun Gorontalo
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Capres dari Partai NasDem Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Ketua DPR Puan Maharani 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

TRIBUNNEWS.COM - “Othak-athik-gathuk”. Itulah inti dari tulisan ini.

Yakni, mengaitkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dengan kisah Aji Saka, cerita rakyat Pulau Jawa, dengan “ilmu” othak-athik-gathuk (mencocok-cocokkan supaya pas).

Sebenarnya “ilmu” othak-athik-gathuk ini mirip semiotika modern ala Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Pierce, atau Roland Barthes.

Menurut Saussure, semiotika adalah kajian yang membahas tentang tanda dalam kehidupan sosial dan hukum yang mengaturnya.

Tanda itu memiliki makna tertentu karena sangat dipengaruhi oleh peran bahasa.

Menurut Pierce, tanda dalam semiotika akan selalu berkaitan dengan logika, terutama logika manusia untuk menalar adanya tanda-tanda yang muncul di sekitarnya.

Baca juga: Jokowi Senang PDIP akan Usung Kader Sendiri di Pilpres 2024

Menurut Barthes, semiotika adalah ilmu yang digunakan untuk memaknai suatu tanda, yang mana bahasa juga merupakan susunan atas tanda-tanda yang memiliki pesan tertentu dari masyarakat. Tanda di sini juga dapat berupa lagu, dialog, not musik, logo, gambar, mimik wajah, hingga gerak tubuh.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda supaya dapat mengetahui bagaimana tanda tersebut berfungsi dan menghasilkan suatu makna (Tinarbuko, 2008).

Sementara menurut Christomy dan Yuwono (2004), semiotika adalah studi tentang tanda-tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi tanda.

Kembali ke kisah Aji Saka, konon ia punya dua pengawal setia: Dora dan Sembada.

Saat hendak pergi mengembara, Aji Saka mengamanatkan keris pusakanya kepada Sembada untuk menjaganya dan tak seorang pun boleh mengambilnya kecuali Aji Saka sendiri.

Namun di tengah perjalanan, Aji Saka ternyata memerlukan keris pusaka itu sehingga ia memerintahkan Dora untuk mengambilnya pada Sembada dengan pesan tak boleh kembali sebelum membawa keris pusaka itu.

Dora dan Sembada pun berkelahi demi mempertahankan amanat masing-masing dari Aji Saka. Akhirnya keduanya sama-sama mati.

Atas kematian kedua abdinya yang setia itu, Aji Saka menciptakan sebuah puisi yang kemudian kita kenal sebagai aksara Jawa, yakni “hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga”.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved