Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pemilu 2024, Malaise Partai Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Direktur Center of Democracy Studies (CDS) M Tahir Wailissa memberikan catatannya soal Malaise Partai Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia.

Editor: Adi Suhendi
Istimewa
M Tahir Wailissa, Direktur Center of Democracy Studies (CDS) memberikan catatan soal Pemilu 2024. 

Menurut UUD 1945 sebelum amandemen system multi partai dibawah system pemerintahan menyebabkan pemerintahan sangat tidak stabil dimana sebelumnya pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak, disusul pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid dalam sidang istimewa MPR tahun 2001.
Hal yang sama dialami presiden Soekarno dalam sidang istimewa MPRS Tahun 1967.

Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukan stabilitas pemerintahan tidak hanya terkait dengan system kepartaian, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari desain system pemerintahan dan system ketatanegaraan secara menyeluruh.

Hal ini menunjukan bahwa system pelembagaan partai merupakan bagian dari sitem ketatanegaraan (constitional engineering).

Dialektika Keadilan Sosial “Narasi Yang Hilang Dalam Kontestasi”

Di era modern, dialektikan welfare state menurut sejarawan Robert Paxton, berkembang pada abad 19, dan bahkan oleh kaum fasis pada abad ke-20 dengan maksud untuk menarik simpati rakyat sambil menekan lawan-lawan politik secara otoriter.

Di Jerman, ide ini dipraktikkan oleh perdana menteri (Konselir) Bicmark pada tahun 1880-an setelah leih dulu menutup 45 media pers dan mengesahkan undang-undang yang melarang partai sosialis Jerman dan pelbagai forum pertemuan sarikat buruh.

Hal yang sama dilakukan oleh Count Edward von Taaffe di Imperium Austro-Hungarian beberapa tahun kemudian.

Yang pasti, negara-negara dictator kanan di Eropa modern abad ke 20, baik yang fasis maupun otoritarian, semuanya adalah negara kesejahteraan.

Semua menyediakan dana-dana bantuan kesehatan, santunan hari tua, perumahan yang layak, dan transportasi massal sebagai kebijakan utama untuk menjaga produktivitas, persatuan nasional dan kedamaian sosial.

Sementara itu, kelompok Marxist di Negara-negara Eropa Kontinental semuanya menentang penerapan kebijakan-kebijakan kesejahteraan yang dinilai bersifat “fiecemeal” atau sepenggal-sepenggal ini dengan maksud mengendalikan militansi rakyat dan kaum buruh, tetapi mengabaikan pentingnya perubahan yang fundamental mengenai retribusi kekayaan kekuasaan.

Kritik nyang paling keras datang dari Karl Marx, dalam naskah pidatonya di depan Komite Sentral Liga Komunis yang ia tulis sesudah kegelapan revolusi 1848.

Ia memperingankan bahwa ukuran yang diapakai untuk menaikan upah buruh, perbaikan kondisi kerja, dan penyediaan asuransi sosial tidak lebih daripada suap yang hanya untuk sementara waktu saja mengatasi keadaan kelas-kelas pekerja.

Akan tetapi, dalam jangka panjang hal itu akan memperlemah kesadaran revolusioner yang justru sangat dibutuhkan untuk mencapai cita-cita ekonomi sosialis.

Alhasil, sesudah abad ke-20, muncul larangan terhadap Marxisme di Jerman Barat pada tahun 1959, dan negara Eropa Barat lainnya.

Partai sosialis dan serikat buruh di negara-negara Eropa Barat juga mulai menerima ide-ide negara kesejahteraan secara penuh sebagai tujuan utamanya masing-masing.

Di Inggris, sesudah eranya Benjamin Disraeli, fondasi gerakan welfare state dapat dikatakan dimulai oleh partai liberal dibawah Pemerintahan Perdana Menteri HH Asquith dan David Liold George, kaum liberal kaum liberal inggris sangat mendukung ide ekonomi kapitalis yang selama abad ke-19 sangat mengutamakan ide pasar bebas dan perdagangan bebas.

Namun, sejak awal abad ke-20, mereka mulai bergeser dari paham laissez faire economic dan mulai menunjukan pemihakan pada ide legislasi sosial yang lebih proaktif untuk memastikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara.


Parpol dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Demokrasi yang telah kita terima bersama ini, dalam perjalanan sejarah telah mengalami berbagai macam varian pemikiran, baik dari aspek subtansi maupun aspek pelembagaannya.

Kedua aspek tersebut telah membentuk sudut pandang yang diametral dan ambigu namun masing-masing tetap mengklaim diri demokrasi.

Pada umumnya, aspek perdebatan yang paling subtansi terfokus pada dasar pembentukan negara serta dasar penyelenggaraan pemerintahan, sebab aspek-aspek tersebut berkaitan dengan problem legitimasi dan otoritas pemerintahan negara untuk mengatur dan mengintervensi kehidupan rakyat disatu sisi, serta hak dan kewajiban rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan pada sisi yang lainnya.

Konsepsi demokrasi sebagai aktualisasi kehendak bersama (common desire) yang direpresentasikan oleh negara harus disadari oleh rakyat dalam dalam segala aktivitasnya agar sejalan dengan konsepsi negara demi kepentingan bersama (common good) sebab, rakyat yang tidak memiliki kesadaran politik, akan hilang padanya tanggung jawab bernegara.

Demikian sebaliknya Negara dalam mengaktualisasikan konsepsi demokrasi harus sejalan dengan kehendak rakyat.

Kesadaran politik tidak mungkin datang dengan sendirinya pada rakyat tanpa didahului oleh proses edukasi yang sepenuhnya diarahkan pada kepentingan kolektif.

Dimana antara Negara dan warga negara memiliki tanggung jawab yang sama, pemerintah yang memiliki kuasa untuk mempermudah jalannya edukasi politik dapat membentuk dan menggerakan institusi public demi terwujudnya kesadaran umum.

Jika dalam suatu masyarakat telah ada tanggung jawab bernegara maka akan mudah bagi negara untuk dapat bergerak maju. (*)

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved