Tribunners / Citizen Journalism
Pesantren BIMA Wajibkan Santrinya Nonton Film dan Punya Studio Sendiri
Tak berselang lama, pesantren pun mendatangkan para artis yang bermain di film-film yang terekomendasikan.
Tolong-menolong dan Berjama’ah
Menjadi Kunci Kelangsungan Umat
Di tahun 70-an, ketika Rhoma Irama mengucapkan bismillah dan salam di panggung, begitu menurut cerita yang saya dengar, langsung saja sandal, kerikil, bahkan batu menyapanya di panggung. Masyarakat kala itu, meskipun KTP-nya Islam, tapi hati dan pikirannya masih anti idiom atau atribut Islam.
Sama juga dengan jilbab. Sebelum Cak Nun menggelar pertunjukan Lautan Jilbab di era 70/80, bisa kita saksikan yang berjilbab itu sedikit. Kalau misalnya ada perkumpulan ibu-ibu di kecamatan, kabupaten, atau istana, paling banter 5% dari total yang hadir. Sekarang, zaman telah berubah. Bisa-bisa yang 5% itu adalah yang tidak berjilbab.
Itulah gambaran mengenai dinamika masyarakat. Kita sepakat bahwa esensi ajaran Islam memang belum begitu dalam merasuk ke hati umat Islam Indonesia. Buktinya dapat dilihat dari keilmuan, akhlak, perilaku, dan performa bangsa.
Tapi soal atribut dan kemeriahan pelaksanaan ibadah formal, kita patut mengucapkan al-hamdulilah yang luar biasa. Semua caleg akan menyematkan hajinya, pidoto pejabat pakai salam, waktu berbuka puasa luar biasa semaraknya di mal-mal.
Demikian juga di bidang ekonomi dan usaha. Berdirilah bank-bank syariah dan usaha-usaha syariah. Tak terkecuali di perfilman atau indutri kreatif. Ada dinamika yang luar biasa dari aspek bagaimana atribut, idiom, dan semarak dalam berislam itu muncul di karya mereka sehingga, seperti yang kita saksikan, karya film pun diisi oleh para profesional yang lekat dengan agama. Atau dengan kata lain, karya seni hari ini telah jamak digunakan sebagai media berdakwah.
Ketika kiprah mereka di seni telah menghasilkan karya dan karya tersebut di lepas di jalur industri, sudah pasti berlaku aturan ekonomi. Pertanyaannya, bisakah karya mereka akan eksis di industri apabila secara ekonomi jeblok? Sudah pasti tidak.
Agar karya mereka tetap eksis perlu ada sinergi, tolong menolong. Salah satu bentuk dukungan dan kontribusi pesantren adalah mewajibkan para santri untuk nonton film. Tanpa dukungan dan kontribusi dari masyarakat, maka karya pemuda-pemuda Indonesia di seni atau industri kreatif akan tergilas oleh karya lain.
Lebih jauh dari itu, karya film yang dihasilkan seniman kita perlu dipahami secara ideologis juga. Hari ini, generasi muda di seluruh dunia didorong oleh negaranya untuk melakukan penyebaran budayanya ke bangsa lain. Dan jalurnya adalah karya seni, seperti drama, musik, film, dan lain-lain. Jangan heran bila anak-anak muda kita lebih kenal nama bintang drama Korea ketimbang nama pahlawan atau Wali Songo. Kenapa? Pasti karena apa yang ditonton.
Indonesia menjadi incaran penyebaran budaya oleh bangsa lain karena secara market sangat besar. Jumlah penduduk kita empat terbesar dunia, setelah Cina, India, dan Amerika. Jika mereka menguasai pasar kita, itu kue ekonomi yang sangat besar.
Tidak ada cara yang terbaik untuk menguatkan produk lokal, menguatkan posisi para seniman yang menjadikan seni sebagai media untuk mendakwahkan nilai-nilai agama dan budaya kecuali harus ada saling tolong menolong. Islam di dunia telah dijamin oleh Allah tidak akan lenyap. Tapi umat Islam di Indonesia sangat mungkin lenyap dari peredaran apabila tidak ada saling tolong menolong dan berjuang secara bershaf-shaf.
Masyarakat semut adalah bagian dari ayat Allah yang sangat penting untuk dibaca agar kita mendapatkan pelajaran. Semut memiliki rasa gotong-royong yang tinggi sehingga mampu memindahkan makanan yang beratnya 50 kali dari berat tubuhnya.
Perintah shalat berjama’ah sudah kita pahami dengan baik, tetapi perintah untuk menegakkan jama’ah dalam perjuangan justru kerap kita tinggalkan. Padahal, berjama’ah dalam perjuangan adalah lanjutan dari makna berjama’ah dalam shalat. Makna ini dapat kita tangkap dari pengertian iqomatush shalah. Iqomah berarti menegakkan nilai-nilai shalat di dalam shalat dan di luar shalat atau dalam kehidupan nyata.
Bacaan Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat juga mengajarkan kita mengenai pentingnya kebersamaan, saling tolong menolong, atau berjama’ah. Ini dapat kita tangkap dari penggunaan dhomir “na” pada “na’budu’, “nasta’in”, dan “ihdina”. Seorang muslim tidak bisa berpikir hidup sendiri. Sekalipun ia shalat sendiri pun, bacaan yang harus ditegaskan ke dalam hatinya adalah kebersamaan, kesaling-tergantungan, dan berjama’ah.
Dakwah Harus Kontekstual
Mengundang Kang Sa’id, panggilan akrab Prof. Dr. K.H. Aqil Siroj ke Pesantren Bina Insan Mulia adalah sesuatu yang sangat istimewa dan punya banyak makna. Ada ketokohan, senioritas, kedalaman ilmu, dan yang tidak kalah pentingnya adalah silaturahim sesama nahdhiyin di Cirebon. Kang Said juga alumnus Pesantren Lirboyo di era jauh sebelum saya.
Ketika beliau saya undang untuk menyampaikan tausiyah pada Haul K.H. Anas Sirojuddin, ada pesan Kiai Said yang menggelorakan semangat santri-santri Bina Insan Mulia terkait dengan metode dakwah. “Berdakwah itu harus kontekstual sesuai dengan zamannya, sebab perintahnya menggunakan fi’il amr. Ud’uu ila sabili robbika bilhikmati walm auidzotil hasanati wajadilhum billati hiya ahsan,” jelas Kang Said.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.