Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Dari Desa Menuju Kairo; Gebrakan Monumental Kyai Imam Jazuli

Kabar terbaru dari Pesantren Bina Insan Mulia tentu saja membuat saya pribadi tercengang dan takjub.

Editor: Husein Sanusi
ISTIMEWA
ILUSTRASI - Wisuda 205 Mahasiswa Indonesia raih gelar sarjana dari Universitas Al Azhar, Licence (Lc), Magister dan Doktor. 

Gebrakan pertama, di mata Kyai Imam, semua santri berhak bisa melanjutkan kuliah dimanapun tanpa memandang asal-usul latar belakang mereka, bagi mereka yang memenuhi syarat maka pintu terbuka lebar.

Kyai Imam ingin membangkitkan motivasi dan perasaan santri agar percaya diri, dalam pandangan ahli psikologi seperti Louis Thurstone (1928), Rensist Likert (1932), dan Charlest Osgood yang mendefinisikan sikap manusia adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.

Kyai Imampun menyadarkan kepada santrinya bahwa sikap sebagai suatu pola prilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial. Atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulasi sosial yang telah terkondisikan. Dengan demikian, santri harus mampu bersaing, membaca situasi sosial masyarakat yang semakin berkembang.

Kedua, revolusi mental yang ditunjukkan Kyai Imam yaitu ingin memberikan motivasi, mendobrak tradisi, sudut pandang, persepsi, opini yang ada di masyarakat yang bisa kuliah di luar negeri hanya dari mereka orang-orang kaya dan keturunan darah biru saja.

Ketiga, Kyai Imam menunjukkan sikap humanisnya kepada kita, tidak mengkotak-kotakkan kalangan tertentu yang difasilitasi bisa studi ke Al-Azhar, misal titipan pejabat, titipan Kyai Khos atau semacamnya, tapi bagi Kyai Imam, siapapun mereka dari alumni Bina Insan Mulia bisa melanjutkan studi ke luar negeri asal ada semangat dan tekad.

Keempat, Kyai Imam ingin mendobrak tradisi, yang hanya bisa kuliah di Al-Azhar hanya keturunan orang-orang kaya dan dari kalangan darah biru. Dalam konteks wacana di pesantren, yang bisa melanjutkan studi ke Al-Azhar selama ini didominasi dari keturunan Kyai (Gus, Lora) karena kelak diharapkan sepulang dari studi bisa melanjutkan estafet orang tuanya mengasuh pesantren.

Bagi Kyai Imam, pola pikir seperti ini tentu saja membuat mereka yang bukan kalangan keturunan darah biru menjadi pesimis, karena itulah Kyai Imam memberikan semangat kelak mereka sepulang studi di Al-Azhar agar dapat memiliki kiprah di masyarakat, apapun perannya yang penting bermanfaat, bukan sekedar berfikir melanjutkan estafet tapi bagaimana dapat membangun dan merintis sendiri.

Semangat Kyai Imam sejalan dengan pandangan Ibnu Hazm (w.1066) seorang filosof dari Andalusia, di dalam kitabnya al-Akhlaq wa al-Siyar yang dengan jelas mengkritik seseorang yang terlalu bangga dengan keturunannya. Ibnu Hazm mengatakan bahwa kemuliaan seseorang bukanlah ditentukan dari keturunannya, apakah seseorang akan mulia karena keturunan Nabi, belum tentu. Karena Kan’an putra Nabi Nuh menjadi orang yang ingkar, begitupun Nabi Ibrahim terlahir dari seorang bapak yang berprofesi sebagai pembuat berhala.

Dalam konteks ini, Kyai Imam memutus mata rantai yang selama ini terjadi perlombaan antar tokoh agama untuk saling memberangkatkan studi keturunannya ke luar negeri khususnya ke Al-Azhar.

Tradisi aristokrasi dan estafet yang timbul dari faktor keturunan dan kekayaan dipangkas habis Kyai Imam untuk membuka jalan kepada siapapun santri bisa melanjutkan studi ke Al-Azhar.

Kalau urusan studi saja masih memperhitungkan nasab, bukankah perhitungan nasab merupakan warisan bangsa Arab? Tegasnya, jika seseorang kehilangan nasab, maka akan hancur kepribadiannya dan tidak dihargai di masyarakat.

Dalam pandangan Khalil Abdul Karim Arab merupakan sumber dari beragam hukum, sistem dan norma yang banyak dipegang kalangan pesantren, bedanya agak dilokalistik saja.

Superioritas keturunan menjadi modal simbolik dan modal ekonomi di masyarakat demi memuluskan tradisi aristokrasi dan keestafetan. Pernik-pernik keturunan, dzuriyat menjadi modal menyisihkan mereka yang tergolong dari kalangan biasa.

Kyai Imam menunjukkan dirinya sebagai khadimul ummah atau pelayan masyarakat. Karenanya, tidak ada lagi persoalan nasab membuat kapling-kapling dalam urusan studi.

Gebrakan monumental Kyai Imam harus terus didukung, karena tanpa ini, harapan santri-santri terutama dari kalangan biasa untuk mewujudkan studi ke luar negeri. Dari Desa Ke Kairo tidak akan tertulis dalam catatan sejarah tanpa Gebrakan Monumental Kyai Imam Jazuli.

Selamat dan sukses kepada 90 alumni Pesantren Bina Insan Mulia yang Studi ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.

*Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Gema Insan Cendekia (GIC) Karawang, Ketua Induk Koperasi Pondok Pesantren (INKOPONTREN) Pusat Bidang Industri Seni, Budaya dan Pariwisata, Penulis Novel Best Seller Mecca I’m Coming difilemkan MD Pictures dan Dapur Film dan.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan