Tribunners / Citizen Journalism
Menelusuri Mistisisme Ajaran Sunan Kalijaga dalam Bait-bait Tembang Lingsir Wengi
Setiap tembang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga memiliki makna dan misi penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.
“Saya sebenarnya mempunyai 14 karya lagu, tapi yang paling terkenal ya Lingsir Wengi. Lagu itu saya buat pada tahun 1995 namun viralnya pada tahun 2000. Dulu lagunya dibawakan oleh beberapa penyanyi lokal seperti Wuryanti, Ani Suyanti, Agus Zakaria, Didi Kempot, Nurhana.”
Lagu lingsir wengi yang dibuatnya menceritakan seorang anak muda yang sedang jatuh cinta, lalu pada malam harinya, ia terngiang-ngiang oleh gadis pujaannya.
Ketika ditanya mengenai lagu yang sedang hangat diperbincangkan karena dianggap dapat digunakan untuk memanggil makhluk halus, Sukap membantahnya.
Dengan tegas ia menjelaskan jika lagu Lingsir Wengi “mistis” itu bukan darinya, namun lagu itu merupakan tembang Jawa yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga.
Lingsir wengi memiliki beberapa makna tergantung dari pandangan tiap orang dan perubahan zaman.
Kidung Lingsir wengi yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga bermakna doa, lagu Lingsir wengi yang dinyanyikan pada film kuntilanak pertama tahun 2006 berkesan mistik dan pemanggilan setan.
Sementara lagu yang dibuat oleh Sukap Jiman dan dinyanyikan oleh The Godfather of Broken Heart menceritakan seorang anak muda yang sedang jatuh cinta, lalu pada malam harinya, ia terngiang-ngiang oleh gadis pujaannya.
Maka dari itu diperlukan literasi kebudayaan yang baik untuk tetap menjaga identitas dan menjaga kearifan lokal dari zaman ke zaman.
World Economic Forum pada tahun 2015 menyepakati bahwa terdapat enam literasi dasar literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Literasi kebudayaan tercakup kedalam salah satu literasi dasar yang harus dimiliki setiap warga negara.
Literasi kebudayaan sendiri adalah literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa.
Sehingga sangat penting penerapan literasi kebudayaan salah satunya untuk menyikapi persoalan lingsir wengi diatas.
Literasi kebudayaan yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga pada saat itu adalah dengan tetap menjaga kearifan lokal atau budaya budaya lokal dengan menyisipkan dakwah dan digunakan sebagai sarana penyebaran agama islam.
Sunan Kalijaga mampu memodifikasi kebudayaan yang ada pada masyarakat Jawa pada masa itu dengan menyisipkan dakwah dan ajaran agama islam.
Sunan Kalijaga juga membuat budaya budaya baru yang sangat penuh dengan makna kehidupan dan ketuhanan seperti doa.
Sunan kalijaga mengajarkan nilai-nilai bahwa untuk mengingatkan dan mendidik bisa dilakukan dengan cara halus dan beradaptasi dengan keadaan masyarakat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai pengemban dakwah dan penyebar ajaran agama islam. Ini merupakan cara yang sangat stategis untuk mengajak masyarakat dalam saling mengingatkan pada kebaikan dan ibadah kepada Allah SWT.
Di sisi lain, Sukap Jiman membuat lirik lagu yang bisa jadi terinspirasi dari lingsir wengi ciptaan Sunan Kalijaga. Namun metodenya dimodifikasi kembali dari tembang ke lagu-lagu popular untuk zaman nya saat itu .
Di satu sisi itu merubah makna dari lingsir wengi ciptaan Sunan Kalijaga namun itu juga mampu mengingatkan kita tentang adanya lingsir wengi dari sebelumnya yaitu ciptaan Sunan Kalijaga.
Hal ini dilihat dari pernyataan Sukap Jiman yang mengetahui adanya tembang lingsir wengi ciptaan sunan kalijaga.
Lingsir wengi pada film kuntilanak pertaman tahun 2006 mungkin bisa menjadi penyebab perubahan makna lingsir wengi dari doa ke nuansa berbau mistis dan horor bahkan pemanggilan setan.
Namun sisi positifnya yaitu lingsir wengi akhirnya menjadi banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Mungkin akan lebih baik jika pada film-film berikutnya dimunculkan kidung lingsir wengi yang sesuai dengan ciptaan Sunan Kalijaga baik itu dari sisi lirik maupun makna dan pembawaanya.
Hal ini juga bisa menjadi anti klimak dari lingsir wengi nuansa mistik dan horor ke lingsir wengi yang bermakna doa.
Sehingga masyarakat akan lebih megetahui dan memahami jati diri dari lingsir wengi sebenarnya yang dibuat oleh Sunan Kalijaga di masa lalu.
Jika kita mengambil secara positif, literasi kebudayaan sebenarnya sudah dilakukan oleh Sunan Kalijaga, Sukap Jiman dan Film kuntilanak namund dengan caranya masing-masing.
Yang perlu dilakukan adalah menampilkan identasi lainnya khususnya identitas awalnya sehingga kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia akan tersu abadi dan dikenal oleh masyarakat luas karena diperkenalkan secara terus menerus.
Meskipun ada sedikit modifikasi namun yang perlu ditekankan adalah untuk bisa menjaga kebudayaan dan menjaga identitas kebudayan sebelumnya dengan memperkenalkan dan memberikan pemahama kepada masyarakat.

*Penulis merupakan pustakawan di Perpustakaan Nasional
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.