Tribunners / Citizen Journalism
Menelusuri Mistisisme Ajaran Sunan Kalijaga dalam Bait-bait Tembang Lingsir Wengi
Setiap tembang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga memiliki makna dan misi penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.
Sebuah kisah Sunan Kalijaga dalam buu karya Umar Hasyim (1982) menceritakan dalam suatu musyawarah, para wali telah sepakat mempertahankan alat musik gamelan dan seni Jawa lainnya sebagai salah satu alat dakwah, karena orang Jawa sangat menggemarinya.
Baca juga: Peran Walisongo dalam Persebaran Agama Islam di Tanah Jawa
Kemudian musyawarah ditutup dengan keputusan bahwa para wali hendaknya menciptakan lagu-lagu tembang Jawa.
Tembang-tembang ini menjadi pilihan karena merupakan budaya yang sudah ada sehingga dapat dijadikan sebagai sarana dakwah.
Setiap tembang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga memiliki makna dan misi penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.
Tembang Dangdanggula menggambarkan kehidupan manusia yang mencapai kebahagiaan, karena keinginnannya terwujud.
Kidung Rumekso ing wengi yang konon harus dibaca setiap selesai mengerjakan shalat malam dengan harapan dihindarkan dari malapetaka di malam hari seperti santet.
Lir Ilir yang konon sering dinyanyikan anak-anak sambil bermain di malam hari di gubah menjadi tembang yang sarat makna.
Dari beberapa tembang, yang cukup dikenal oleh masyarakat adalah Lingsir Wengi. Lagu ini sebenarnya sama-sekali tidak memiliki nuansa horor, justru sebaliknya, lirik tembangnya merupakan dakwah agama, kata-katanya mengandung kata cinta dan doa.
Lirik Lingsir Wengi yang asli oleh Sunan Kalijaga dalam Bahasa Jawa:
Lingsir wengi
Sepi durung biso nendro
Kagodho mring wewayang
Kang ngreridhu ati
Kawitane
Mung sembrono njur kulino
Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno
Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi
Nandang bronto
Kadung loro
Sambat-sambat sopo
Rino wengi
Sing tak puji ojo lali
Janjine mugo biso tak ugemi
Bahasa Indonesia
(Saat menjelang tengah malam)
(Sepi tidak bisa tidur)
(Tergoda bayanganmu)
(Di dalam hatiku)
(Permulaannya)
(Hanya bercanda kemudian biasa)
(Tidak mengira akan jadi cinta)
(Kalau sudah saatnya akan terjadi pada diriku)
(Menderita kasmaran/jatuh cinta)
(Telanjur sakit)
(Aku harus mengeluh kepada siapa)
(Siang dan malam)
(Yang kupuja jangan lupakan)
(Janjinya kuharap tak diingkari)
Seperti halnya Kidung Rumekso Ing Wengi, Kidung Lingsir Wengi juga pada malam hari dengan harapan dihindarkan dari malapetaka.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.