Tribunners / Citizen Journalism
Fiqih dan Tasawuf seperti Satu Tarikan Nafas Tak Terpisahkan
Dikotomi semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, kalau bisa memahami bahwa kedua disiplin ilmu itu sesungguhnya merupakan anak kandung dari induk
Fiqih yang dimaksud disini adalah: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang membahas tentang hukum syariat atas perbuatan-perbuatan dhohir, yang digali dari dalil-dalil secara terperinci” (Tajudin as-Subki, kitab jam’u al-jawami’ (1/42).
Sementara yang dimaksud dengan tasawuf oleh Abu al-Hasan asy-Syadzili (1258 M) adalah, bahwa tasawuf merupakan praktik-praktik ibadah untuk memperoleh amalan dan pelatihan diri untuk mengembalikan diri kepada Allah Swt, atau sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ma’ruf al-Karkhi (w 200 H):
التصوف الأخذ بالحقائق واليأس مما في أيدي الخلائق
“Tasawuf adalah mencari kebenaran hakiki dan berpaling dari apa yang dimiliki makhluk” (Awafif al-Ma’arif, hal. 62).
Jadi agar semua amal perbuatan kita diterima Allah dan menjadi sebab masuk ke dalam jannah, maka dua syarat yang harus dipenuhi, pertama harus diniatkah lillahi ta’ala dan yang kedua harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang sudah digariskan syari’at.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam praktik penggabungan antara fiqih dan tasawuf dalam tingkah lakunya (akhlaknya). Beliau juga selalu menunjukkan dan memberi dorongan berbuat baik kepada sesama manusia, keluarga, memuliakan tamu dan tetangga.Nabi menjelaskan dalam salah satu sabdanya, bahwa manusia yang paling baik ialah yang paling baik perangainya.
Dalam hubungan ini bukan hanya tingkah laku lahir saja, melainkan juga sikap batin hendaknya selalu terkontrol dan cenderung kepada jalan kebaikan dan kebajikan. Praktik tasawuf Nabi Muhammad Saw. adalah berakhlak mulia yang selalu beliau terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Cerita dari Sa’id bin Hisyam: “Aku datang menemui A’isyah ra, lalu kutanyakan tentang akhlak Rasulullah SAW”. A’isyah ra menjawab: “Bisakah engkau membaca Al-Qur’an?” Kataku: “Bisa!” Ujar beliau: “Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Allah ridlo bersama keridlaan beliau, dan Allah niscaya marah bersama kemarahan beliau.” Rasulullah Saw bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji lagi kotor” (HR. At-Tirmidzi). Selain itu, pola kehidupan Nabi yang sederhana dan selalu ber-mujahadah juga menjadi tamtsil (teladan) bagi kehidupan para zahid dan sufi. Teladan yang mengantarkan pada fase-fase intuitif dan maqamat serta ahwal yang pada akhirnya akan mengantarkan si salik kepada terbukanya hakikat serta sampai pada jalan menuju Allah dengan pengetahuan yang hakiki (ma’rifat ilhamiyah-laduniyah) (M. Jalal Syaraf, 1984: 37-38).
Karena itu tak berlebihan Annemarie Schimmel (2000: 31) mengatakan, bahwa Nabi Muhammad Saw. merupakan mata rantai pertama dalam rangkaian rohani tasawuf. Serta mi’rajnya lewat berlapis-lapis langit kehadapan ilahi merupakan prototip kenaikan rohani para mistikus ke hadapan Allah. Maka, suri-teladan kehidupan sufi adalah dari kehidupan Nabi SAW. Kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai luhur yang dinukilkan melalui para sahabatnya. Kehidupan Nabi yang diupayakan oleh para sufi untuk dijadikan hiasan jiwa bagi mereka tidak hanya pada masa Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Namun, kehidupan Nabi sebelum bi’tsah pun menjadi bagian dari upaya mengolah pengalaman spiritual (tajribat/riyadlat) oleh para sufi.
Kita tahu bahwa bahwa kehidupan Nabi sebelum bi’tsah penuh dengan kejadian-kejadian yang memiliki nilai spiritual luhur. Semisal beliau ber-tahannuts dan ber-khalwat di gua Hira` dengan tujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam upaya memahami realitas masyarakat pada waktu itu. Dan dalam ber-tahannuts inilah pula Nabi menerima wahyu pertama dari Allah melalui Jibril (M. Jalal Syaraf, 1984: 35).
Sementara bagi Fazlur Rahman (1979: 128), dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menggambarkan pengalaman mistik Nabi, seperti dalam Q.S. al-Isra`: 1, Q.S. al-Najm: 1-12 dan 13-18, Q.S. al-Takwir: 19-25. Oleh karena itu, banyak amalan-amalan Nabi yang menjadi dasar dan unsur tasawuf yang diamalkan oleh para sufi. Semisal hidup dengan sederhana (zuhud), selalu beristighfar, berpuasa, dan bermujahadah (As’ad al-Sahmarani, 1987: 74-75).
Selain itu, meski Rasulullah adalah orang yang terjaga dari dosa (ma'shum) dan suci, namun tetap melakukan riyadlah dan mujahadah sebagai bentuk teladan kepada umatnya, bahwa untuk mencapai titik muthmainnah dan tingkatan dekat dengan Allah maka harus dibarengi dengan riyadlah dan mujahadah.
Dalam proses mujahadah, periode takhalli adalah yang pertama bagi Rasulullah, dimana hakikat lebih dominan karena pada waktu ini belum ada kewajiban-kewajiban yang bersifat syariat. Takhalli artinya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat buruk, seperti: sombong, dengki, iri hati, cinta kepada dunia, cinta kedudukan, riya', dan sebagainya. Pada periode Makkah ini, jangan heran jika Rasulullah tetap sabar meski dilempari dengan batu dan kotoran serta dicaci maki.
Dari takhalli kemudian beranjak ke tahap tahalli, dimana Rasullah akan memiliki jiwa yang lebih bersih dan memandang segala sesuatunya itu digerakkan oleh Allah. Tahalli berarti menghiasi jiwa dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong, kedermawanan, sabar, keikhlasan, tawakal, kerelaan, cinta kepada Allah SWT, dan sebagainya, termasuk di dalahnya adalah banyak beribadah, berzikir, dan muraqabah kepada Allah SWT.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.