Tribunners / Citizen Journalism
Penanganan Covid
Banyak Kiyai Diberitakan Meninggal Dunia, Mengapa Vaksinasi Pesantren Perlu Diprioritaskan?
Banyak para Kyai Pimpinan Pesantren diberitakan meninggal dunia selama masa pandemi ini. Pesantren juga jadi klaster baru.
Banyak Kiyai Diberitakan Meninggal Dunia, Mengapa Vaksinasi Pondok Pesantren Perlu Diprioritaskan?
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Hari ke hari, beberapa Kiyai NU diberitakan meninggal dunia. Sementara pondok pesantren bermunculan sebagai kluster baru persebaran Covid-19. Dalam catatan RMI PBNU, kasus Covid-19 di pondok pesantren belum juga bisa diatasi dengan maksimal.
Menurut data RMI, sebanyak 207 pengelola yang terdiri dari pengasuh dan pengurus di 110 pesantren wafat di masa pandemi. Di antara penyebabnya karena terpapar Covid-19. RMI PBNU juga meminta akses kesehatan agar Covid-19 klaster pesantren dapat perhatian serius. Karena, hanya di pondok pesantren, penyelenggaraan pendidikan secara tatap muka berlangsung. Di samping penerapan protokol kesehatan yang relatif longgar dan kurang ketat.
Sementara data dari Kementerian Agama (Kemenag) cukup representatif menggambarkan nasib pondok pesantren. Data yang dirilis menunjukkan sudah ada 27 pesantren di 10 provinsi yang menjadi korban keganasan Covid-19. Tanpa pandang bulu, virus ini menyerang lembaga-lembaga pendidikan yang menjadi pusat spiritualitas dan keagamaan.
Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa'adi, dari jumlah di sejumlah provinsi tersebut tercatat 1.400 santri yang terkena Covid-19. Meski begitu, KH. Zainut Tauhid Sa’adi melihat para santri sudah sembuh seperti sedia kala. Ini bisa dilihat sebagai hasil dari upaya lahiriah maupun batin komunitas pesantren.
Hal penting yang ditekankan oleh RMI PBNU adalah soal akses kesehatan. Mengingat Covid-19 menghantam pesantren dan menjadikannya sebagai salah satu klaster, saatnya RMI PBNU menekan political will pemerintah. Salah satunya berupa adanya kehendak dari pemerintah untuk memprioritaskan vaksinasi di pondok pesantren, agar persebaran covid-19 dapat dikendalikan dengan baik.
Political will pemerintah ini penting, karena menurut RMI PBNU perhatian pemerintah sangat kecil. Bahkan, komunikasi publik yang terjadi selama ini tampak tidak berpihak kepada pesantren, khususnya ketika pesantren muncul sebagai klaster baru. Kasus yang ditemukan oleh RMI PBNU menunjukkan pesantren di beberapa daerah sulit mengakses swab PCR test.
Salah satu contoh daerah yang membuktikan komunikasi publik tidak berpihak pada pesantren terjadi di Yogyakarta. Rabithaah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU, yang direpresentasikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY, Fahmi Akbar Idris, mengomentari usulan Pemda, yang dinilainya kurang menguntungkan kepentingan pihak pesantren.
Fahmi Akbar Idris secara politis berupaya mempertimbangkan usulan dari Pemda DIY, yang ingin memulangkan para santri yang sehat dan selamat dari Covid-19. Pemerintah Daerah sangat mungkin ingin agar santri yang sehat tidak terdampak, mengingat Jogja menjadi zona persebaran covid-19 yang lumayan parah.
Fahmi Akbar Idris mengatakan bahwa usul Pemda tersebut masih akan dikaji oleh Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), sebagai perangkat departementasi organisasi lembaga Nahdlatul Ulama. Hal itu bisa dipahami agar pendidikan di pesantren tetap berlanjut dalam situasi pandemi yang merugikan ini.
Kritik atas pesantren sebagai bentuk komunikasi publik yang tidak memihak juga datang dari dari Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman, Joko Hastaryo. Ponpes dinilai kurang ketat dalam penerapan protokol kesehatan (protkes). Dari sini, pandangan KH. Abdul Ghofarrozin, Ketua PP RMI PBNU, ada benarnya bahwa komunikasi publik cenderung tidak memihak klaster pesantren.
Contoh lain buruknya komunikasi publik yang tidak memihak pesantren, bukan saja di tingkat daerah, melainkan juga di tingkat pusat. Kompas memberitakan bahwa enam kategori masyarakat yang akan diprioritaskan; pertama, kelompok garda terdepan: petugas medis, paramedis contact tracing, TNI/Polri, dan aparat hukum sebanyak 3.497.737 orang.
Kedua, tokoh agama/masyarakat, perangkat daerah (kecamatan, desa,RT/RW), dan sebagian pelaku ekonomi sebanyak 5.624.106 orang. Ketiga, guru/tenaga pendidik dari PAUD/TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi sebanyak 4.361.197 orang. Keempat, aparatur pemerintah (pusat, daerah, dan legislatif) sebanyak 2.305.689 orang. Kelima, peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) sejumlah 86.622.867 orang. Keenam, masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya sebanyakk 57.548.500 orang (Kompas, 16/12/2020).
Jika ditotal, target prioritas pemerintah sebesar 160 juta jiwa, namun dari enam kategori sosial berbeda tersebut tidak ada pesantren. Sementara kategori pondok pesantren itu sendiri, menurut Kementerian Agama, memiliki 27.722 pondok pesantren dengan 4.174.623 santri di seluruh provinsi Indonesia (Ditpdpontren.kemenag, 2019). Jadi, klaster pesantren hampir setara dengan jumlah klaster guru/tenaga pendidik dari PAUD/TK, SD, SMP, SMA, dan PT, serta lebih besar dari klaster aparatur pemerintah maupun klaster petugas medis.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.