Tribunners / Citizen Journalism
Menimbang Kehadiran KAMI dan Melawan Narasi Kebencian
KAMI sebagai organisasi butuh kader-kader yang profesional-intelektual bukan yang sekedar emosional.
Dengan mewaspadai kebangkitan PKI tersebut, KAMI layak disebut memperjuangkan amanah undang-undang.
Namun seperti disampaikan sebelumnya, pendidikan politik yang ideal salah satunya harus dicerminkan melalui berpikir yang komprehensif.
Para elite KAMI perlu menyadari perkembangan mutakhir seperti wacana dari pihak Amnesti Internasional terkait PKI. Direktur Amnesti Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyebut bahwa PKI mustahil bangkit lagi karena adanya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Dua undang-undang ini menutup jalan bagi kebangkitan PKI.
Hemat penulis, KAMI masih bisa menjadi kekuatan politik masyarakat sipil yang patut dipertimbangkan. Hanya jika melakukan pendidikan politik yang mencerahkan publik, bukan pembodohan publik, sehingga kehadirannya ditolak dimana-mana.
KAMI harus membuka mata kepala dan mata hati lebih lebar lagi dengan menempatkan publik sebagai kumpulan orang cerdas, bukan orang dungu yang mudah dipengaruhi.
Pandangan Usman Hamid ada benarnya. Jika kebangkitan PKI mustahil karena telah dihadang oleh Undang-undang, maka memaksakan isu PKI sama saja dengan memaksakan kebencian. Membangun narasi kebencian agar bisa diwariskan dari generasi ke generasi.
Jika KAMI tidak berhenti dan menggarap isu politis lain yang lebih strategis, maka sejarah kelak akan mencatat KAMI sebagai ormas "sampah" peradaban. Ini tidak boleh dibiarkan menodai citra KAMI.
Masih banyak garapan isu politik yang bisa dikembangkan. Misalnya, Undang-undang Kesehatan mengamanahkan pemerintah agar bahu membahu bersama masyarakat meningkatkan kualitas kesehatan publik.
Tetapi, atas nama undang-undang pula, pemerintah memaksakan diri menggelar pemilihan kepala daerah. Ambivalensi politik penguasa sedemikian rupa dapat digarap lebih serius dan dikembangkan lebih mendalam oleh KAMI. Sebab inilah isu politik kontekstual yang dipersoalkan rakyat.
Dan ketika KAMI mau menggarap isu politik tertentu, haruslah lebih rasional dan jangan emosional supaya lebih bermartabat. Ketika membahas topik oligarki, misalnya, KAMI memahaminya sebagai tanda-tanda kebangkitan komunisme.
Opini ini akan tampak lucu di mata publik, khususnya mahasiswa dan generasi milenial yang sudah banyak belajar di perkuliahan. Belum lagi di mata pakar-pakar yang sudah paham realitas peta politik.
Memang benar sejak awal PBNU menggarap topik Oligarki. KAMI yang ikut-ikutan garap topik Oligarki bisa disebut sejalan dengan PBNU. Namun, oligarki tidak ada hubungannya dengan komunisme.
Sebaliknya, oligarki itu adik kandung kapitalisme. Sementara kapitalisme dan oligarki musuh bebuyutan komunisme.
Artinya, KAMI sebagai organisasi membutuhkan kader-kader yang betul-betul intelektual-profesional. Jangan sampai ormas baru ini dihuni oleh kumpulan orang-orang emosional tanpa bekal ilmu memadai.
Di masa-masa mendatang, politik tanah air insya Allah akan semakin matang. Pendidikan politik akan berjalan menuju lebih baik. KAMI dapat terlibat dalam perjalanan dan proses kebangsaan tersebut.
Hanya saja hari ini KAMI perlu terus evaluasi diri, berpikir lebih komprehensif, ilmiah, dan tidak emosional yang menyebabkannya tampak seperti lelucon di siang bolong.[]
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.