Tribunners / Citizen Journalism
Kritik Fenomena Hijrah Masa Kini, Tulisan Nyai Badriyah Fayoumi Dipuisikan
Puisi ini berisi tentang fenomena Hijrah yang banyak digandrungi sekelompok komunitas tertentu yang saat ini dinilai beda dengan di masa Nabi Muhammad
Kini,
Fenomena hijrah terlihat berbalik arah. Hijrah menjadi garis pembeda antara "kamu" dan "kami". Kamu masih belum "kaaffah" karena belum seperti kami yang sudah hijrah. Vonis itu sering dikatakan kepada siapa saja yang bukan kelompoknya, hatta kepada alim ulama yang sudah puluhan tahun ngaji dan ngajar agama.
Padahal, Hijrah Nabi justru mempersatukan kelompok2 yang sebelumnya selalu bermusuhan. Hijrah Nabi tak dipakai untuk menjadi pembeda antara mereka yang hijrahnya lillahi ta'la dengan mereka yang hijrahnya karena perempuan atau harta. Semua diserahkan kepada Allah semata. Nabi hanya menyampaikan pesan langit tentang pentingnya menjaga niat hijrah agar lillahi ta'ala. Itu karena Nabi tahu bahwa hijrah sangat rawan dicemari oleh niat mencari dunia, dan sangat rentan terjebak riya' berupa pamer kesalehan di hadapan manusia.
Kini,
Hijrah bagi sebagian kalangan bahkan dijadikan alasan menolak toleransi karena merasa diri paling suci. Lebih menyedihkan, atas nama hijrah empati kepada orang tua sendiri seakan mati. Kudengar cerita ada anak yang merasa sudah berhijrah berkata, "Kalau bapak dan ibu sakit parah, itu karena dosa2 bapak dan ibu yang bergelimang syirik dan bid'ah. Terimalah itu sebagai kaffarah. Dan biarkan kami mencari selamat dengan berhijrah." Maa syaa Allah. Inna Lillah.
Begitukah hijrah ? Pastilah tidak.
Sirah nabawiyah mengabarkan, bahwa jejak hijrah Nabi adalah membangun masyarakat muslim yang beradab dan kosmopolitan dengan ajaran dan akhlak Islam, menjadikan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat peradaban, mempersaudarakan yang bermusuhan, dan
menghargai perbedaan.
Dakwah Nabi di era hijrah adalah dakwah yg membuka diri, merangkul semua, kaya cara, penuh kearifan dan kebijaksanaan hingga yang beriman makin cinta dan setia, yang memusuhipun akhirnya bisa menerima kebenaran tanpa merasa terhina.
Maka, jika kini ada fenomena hijrah yang membangun eksklusifisme, memutus silaturrahim, menyalahkan yang berbeda, seraya merasa diri dan kelompoknya paling benar sendiri hingga merasa berhak mengatasnamakan Tuhan untuk menghakimi...... katakan dengan lantang," Bukan begitu laku hijrah yang Nabi contohkan !!!"
Mahasina, malam Tasu'a' 1441 H.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.