Tribunners / Citizen Journalism
RUU Cipta Kerja dan Reposisi Kewenangan Presiden
Sesungguhnya Isu ini menjadi penting untuk dibahas saat ini. Penegasan sistem Presidensial sangat kuat terasa dalam RUU Ciker ini.
Keberadaan dissenting opinion ini sesungguhnya memberikan ruang bagi publik untuk tetap dapat memperdebatkan norma tersebut. Perlu untuk diketahui bahwa 4 orang yang memberikan dissenting opinion adalah, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indriati serta Manahan MP Sitompul. Secara keilmuan keempat orang tersebut merupakan ahli hukum yang keilmuannya tidak dapat diragukan.
Ada beberapa alasan mengapa keempat Hakim MK tersebut pada waktu itu memberikan pendapat yang berbeda, diantaranya adalah pertama, Indonesia merupakan negara kesatuan, bukan federasi, sehingga antara Pusat dan Daerah adalah suatu kesatuan Hukum.
Kedua, Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan mempunyai kewenangan mengambil tindakan terhadap produk hukum penyelenggara pemerintahan yang mengandung cacat.
Ketiga, materi muatan perda adalah materi yang bersubstansikan urusan Pemerintahan, dan urusan pemerintahan adalah kewenangan Presiden. Sehingga dengan logika ini, apabila pembatalan perda oleh Presiden dianggap sebagai norma yang inkonstitusional maka sama artinya dengan mengatakan bahwa pemerintahan daerah bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang tanggung jawab terakhirnya ada di tangan Presiden.
Keempat, pembatalan perda merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dan tidak dimaksudkan menggantikan kewenangan judicial review. Pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengajukan judicial review.
Hal lain yang juga harus dipahami adalah, Peraturan Daerah bukanlah merupakan produk legislasi. Betul bahwa Perda dibuat oleh Kepala Daerah bersama dengan DPRD, namun hal tersebut tidak menjadikan Perda sebagai produk legislasi.
Hal ini dikarenakan DPRD bukan merupakan perpanjangan tangan DPR sebagai pemegang kekuasaan Legislatif. DPRD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepala Daerah sebagai perpanjangan tangan Presiden dalam melaksanakan Pemerintahan di Daerah.
Mendudukan Posisi Menteri
Kembali melihat UUD 1945, dalam Pasal 17 dinyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dimana Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Tidak jarang dalam pelaksanaan pemerintahan terjadi stagnasi yang disebabkan adanya ego sektoral. Ego sektoral terjadi karena Menteri merasa suatu urusan merupakan kewenangannya, walaupun urusan tersebut bersinggungan dengan urusan Menteri lain. Menteri merasa memiliki kewenangan atributif untuk mengatur suatu urusan.
Hampir semua undang-undang, memberikan kewenangan mengatur dan mengurusnya langusung kepada Menteri. Pemberian kewenangan kepada para Menteri untuk mengatur suatu urusan tersebut lah yang menyebabkan terjadinya ego sektoral tersebut, mulai dari tidak sinkronya kebijakan antar Menteri hingga terjadinya sengketa kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan.
UU No 30 Tahun 2014 mengatur mengenai penyelesaian sengketa kewenangan dalam Pemerintahan. Secara singkat, dalam pasal 16 dinyatakan bahwa jika terjadi sengketa kewenangan dalam Pemerintahan, maka penentu akhirnya adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan tertinggi. Melihat kembali Pasal 17 UUD 1945, maka ketentuan Pasal 16 tersebut tepat karena Para Menteri hanya merupakan pembantu Presiden, kewenangan yang mereka miliki hanyalah kewenangan delegasi dari Presiden.
RUU ini mencoba Mendudukan kewenangan yang dimiliki oleh Menteri sebagai kewenangan delegasian dari Presiden, dan bukan kewenangan atributif dari undang-undang. Hal ini ditunjukan dengan menarik semua kewenangan Menteri dan menjadikannya sebagai kewenangan Presiden. Yang kemudian Presiden akan mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri melalui Peraturan Pelaksanaan.
Permasalahannya adalah, kewenangan atributif tidak dapat serta merta didelegasikan. Hanya kewenangan yang dinyatakan dapat didelagasikanlah yang dapat didelegasikan. Menurut Ten Berge sebagimana dikutip oleh Hadjon dalam tulisannya berjudul Tentang Wewenang, salah satu syarat delegasi adalah delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 163 mencoba mengatur hal tersebut dengan menyatakan bahwa Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan peraturan pelaksanaan Undang-Undang kepada menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.