Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Mas Kiai dan 'Suket Teki'

Rumput teki, suket teki tidak hanya bisa tumbuh dalam “hubungan asmara” seperti yang dikisahkan Didi Kempot, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat

Editor: Dewi Agustina
Istimewa
Suket Teki 

Banyak pejabat yang ketika diangkat mengucapkan sumpah dengan memegang kitab suci, tetapi dalam perjalanan waktu ada yang menjadi suket teki, menjadi gulma, rumput yang mengganggu kehidupan tanaman lain, mengingkari sumpah jabatannya: korupsi!

"Jebule janjimu, jebule sumpahmu ra biso digugu ternyata janjimu, ternyata sumpahmu tidak bisa dipercaya," teriak Didi Kempot.

Mengapa bisa terjadi semacam itu? Antrolopog Niels Mulder merumuskan sikap semacam itu sebagai cerminan dari orang yang “terkosongkan dari kandungan moral” (emptied of moral content).

Istilah tersebut adalah tesis Niels Mulder tentang masyarakat Jawa (2012). Tetapi, rasanya, kini yang mengalami “terkosongkan dari kandungan moral” tidak hanya masyarakat Jawa saja.

Baca: Di Tengah Pelambatan Ekspor, Januari-April 2020 Ekspor Pertanian Naik

Ungkapan “terkosongkan dari kandungan moral,” bentuknya macam-macam, termasuk dalam hal ini orang yang mengingkari nilai-nilai toleransi dalam hidup beragama, misalnya.

Bukankah agama mengajarkan semua pemeluknya untuk saling menghormati.

Semua agama mengajarkan umatnya untuk menghindari kekerasan, tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk membunuh dan melukai umat lain.

Semua agama juga mengajarkan manusia untuk memiliki solidaritas, kemanusiaan dalam segala aspek kehidupan.

Semua agama mengajarkan nilai-nilai kesetaraan dan toleransi sesama umat manusia lainnya.

Orang beragama yang mengingkari semua itu, bagaikan suket teki yang tumbuh di taman dengan hamparan rumput gajah mini, rumput jepang, rumput gajah mini verigata, rumput swiss, atau rumput golf yang subur dan hijau begitu indah dipandang mata.

Baca: Ibu Rumah Tangga di Luwu Timur Sulsel Pukul Kepala Dusun Andi Nenni Yunus Gara-gara Tak Terima BLT

Ibarat ilalang yang tumbuh di tengah hamparan tanaman padi: harus dicabut dan dibakar.

"Itulah tantangan zaman sekarang. Zaman yang disebut zaman teknologi maju. Generasi sekarang disebut generasi teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi telah membuat membanjirnya informasi. Perkembangan teknologi ini membawa suatu arus perubahan bagi masyarakat secara luas, termasuk para santri."

"Perubahan itu bisa saja baik dan juga buruk: mencakup pola pikir, cara bertindak, gaya hidup, dan memperoleh kemudahan-kemudahan hidup. Sekali lagi, inilah tantangannya," jelas Mas Kiai.

Mas Kiai masih melanjutkan, "Kalau para santri banyak yang melek teknologi, ada paranoid kalau akses dibuka terlalu luas. Masjid kami ada wifi-nya. Santri boleh membuka apa saja. Nek membuka sing negatif, ya risiko dunia akhirat," katanya disusul derai tawanya.

"Kami kan nggak mau nandur suket teki. Kami ingin nenanam padi dan tumbuh padi, padi yang mentes, bernas. Ada macam-macam jenis padi. Ini sama dengan masyarakat Indonesia, majemuk segalanya. Karena itu, harmoni kehidupan harus terus dibangun dipelihara. Untuk mencapai hal tersebut, harus ada kematangan spiritual dan agama dari setiap manusia."

Baca: Muhadjir Sebut Kenaikan Iuran BPJS adalah Pilihan Sulit: Sabar, Nanti akan Kita Evaluasi Dulu

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved