Tribunners / Citizen Journalism
Divestasi Saham PT. Freeport: Menegasi Sisi Kemanusiaan
Pembelian 51,2% saham Freeport oleh PT Inalum sudah sepatutnya disyukuri dan dirayakan.
Editor:
Hasanudin Aco
Ketiga, PTFI dikenal dunia sebagai perusahaan yang royal memberi bantuan keuangan kepada militer Indonesia dalam mengamankan wilayah operasionalnya.
Harian The Jakarta Post, 13 Maret 2003 melaporkan bahwa di tahun 2001 PTFI memberi bantuan sebesar 4,7 juta dollar kepada TNI untuk penempatan 2.300 pasukan, 400 ribu dollar tahun 2002 untuk bantuan pembangunan infrastruktur dan 5,6 juta dollar untuk pengamanan operasionalnya.
Kerjasama dengan TNI dituding banyak pihak telah meningkatkan intensitas pelanggaran HAM di wilayah Papua. Keempat, sejak 1967 PTFI memiliki hak istimewa untuk melakukan kegiatan penambangan tanpa memerlukan dokumen analisis dampak lingkungan. Akibatnya, kerugian lingkungan yang ditimbulkan sangatlah mengerikan.
Menurut hasil audit BPK, negara mengalami kerugian ekologis sebesar Rp 185 triliun.
PTFI membuang limbahnya kedalam hutan, meluap di sungai dan mengotori air sampai ke muara. Kelima, BPK juga menemukan bahwa PTFI ternyata merambah hutan lindung seluas 4,536 HA tanpa izin dan itu melanggar UU No. 19/2004 tentang Kehutanan ( The Jakarta Post, 20 Maret 2018).
Keenam, meski sudah melakukan dua kali perpanjangan kontrak dengan pemerintah, pemegang hak ulayat atas wilayah KK dan IUPK yaitu suku Amungme dan Kamoro tidak dilibatkan dalam proses negosiasi.
Padahal di pasal 135 UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba dinyatakan bahwa "Pemegang IUPK hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah". Isu pelanggaran HAM, tata kelola lingkungan, masa depan suku Amungme dan Kamoro tidak dibicarakan secara terbuka.
Tidakkah memiriskan mengetahui bahwa sekitar 70% suku Amungme dan Komoro hidup di bawah garis kemiskinan?
Dengan kekayaan emas dan perak ditaksir sebesar Rp 2.400 triliun sampai 2041, adalah sangat tidak berperikemanusiaan membiarkan suku Amungme dan Kamoro menari di lingkaran setan kemiskinan.
Kedigdayaan MNC
Multinational Corporation (MNC) sekelas PTFI telah terbukti menunjukkan kesaktiannya. Mendapatkan KK dengan legitimasi yang diragukan, ia berhasil melenggang dan mendikte negara berdaulat selama lebih dari setengah abad. Pun, desakan dari masyarakat internasional untuk perbaikan etika berinvestasi di negara berkembang tidak digubrisnya.
Di bulan Oktober 1995, sebuah lembaga independen yang berbasis di Amerika (Overseas Private Investment Corporation) membatalkan asuransi internasional atas resiko politik PTFI.
Agensi ini menegaskan bahwa PTFI melanggar "The Foreign Assistance Act 1961" yang mewajibkan perusahaan yang berinvestasi di luar negeri untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merusak lingkungan atau menyebabkan kerusakan terhadap hutan di daerah tropis (NAJ Taylor, Aljazeera, 19 Oktober 2011).
Selain itu, PTFI juga diduga melanggar "The Foreign Corrupt Practice Act" dengan terus menerus memberi dana terhadap institusi TNI yang jumlahnya mencapai 12 milyar dollar.
Di bulan Februari 2006, PTFI adalah perusahaan MNC yang pertama yg di "blacklist" oleh pemerintah Norwegia karena alasan pengelolaan lingkungan. Meski mendapat sorotan internasional yang sangat menganggu reputasinya, PTFI tetap bertahan beroperasi dengan keuntungan besar bahkan membuat beberapa kepala negara tak berkutik.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.