Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Divestasi Saham PT. Freeport: Menegasi Sisi Kemanusiaan

Pembelian 51,2% saham Freeport oleh PT Inalum sudah sepatutnya disyukuri dan dirayakan.

Editor: Hasanudin Aco
tribun timur/tribun timur/muhammad abdiwan
Sosiolog Sawedi Muhammad mempresentasikan disertasinya saat promosi doktor di Kampus UNM, Senin (27/7). Sawedi memmpertahankan disertasi dengan judul ?Gerakan Sosial di Lingkar Tambang. Politik Perlawanan Masyarakat Asli Sorowako Terhadap PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Sulawesi Selatan. tribun timur/muhammad abdiwan 

Dana tersebut dikucurkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Papua baik di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Tak hanya itu, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp 19,3 triliun untuk mempercepat konektivitas antar wilayah (Okezone, Februari, 2018).

Meski rupiah melimpah ke Papua, kesejahteraan masyarakatnya tidak banyak berubah. Gizi buruk dan angka kematian bayi termasuk tertinggi di Indonesia. Catatan Oxfam tahun 2005, terdapat 69.883 penderita gizi buruk, 58 diantaranya meninggal.

Sementara Unicef tahun 2015 mencatat angka kematian balita dan gizi buruk di Papua mencapai tiga kali lipat dibanding Jakarta atau 81 persen per seribu kelahiran (CNN Indonesia, Januari, 2018).

Kontroversi non-ekonomi

Meski begitu banyak manfaat ekonomis dari divestasi saham PTFI, dampak non-ekonomisnya juga sangat banyak.

Terdapat beberapa catatan kritis yang penulis tawarkan untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, sejarah masuknya PTFI di Indonesia melalui Kontrak Karya (KK)1967 memiliki landasan hukum yang meragukan.

Denise Leith (2002) dalam bukunya "The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia," menegaskan bahwa Indonesia belum mendapatkan pengakuan internasional atas wilayah Papua saat KK di tandatangani.

Nanti setelah hasil dari "Act of Free Choice" atau Pepera 1969 diakui oleh PBB kemudian menjadi dasar penguasaan Indonesia atas tanah Papua mendapatkan legitimasinya.

Leith menambahkan bahwa yang menandatangani perjanjian KK bukanlah Presiden RI tetapi Letjen Soeharto sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan yang juga sebagai Presidium Kabinet Ampera.

Kedua, dalam KK, PTFI diberikan keleluasaan melakukan aktivitas penambangan tanpa kewajiban berkonsultasi dengan pemilik hak ulayat atas wilayah Grasberg dan Ertsberg yaitu suku Amungme dan Kamoro.

Pandangan kosmologi TU NI ME NI suku Amungme disepelekan. Bagi mereka, alam semesta merepresentasi seorang perempuan.

Kepalanya adalah pegunungan (grasberg dan ertsberg), dada dan rahimnya adalah lembah dan ngarai. Sedangkan sungai adalah air susu yang terus mengalir.

Bagi Amungme, PTFI telah membunuh ibunya dengan sadis, mengotori air susunya dengan limbah yang darinya mereka menggantungkan hidup dan masa depannya (Abrash Abigail, Cultural Survival Quarterly Magazine, 2001).

Dalam sebuah wawancara, Ketua masyarakat adat Amungme Odizeus Benal berujar "kami telah kehilangan hak-hak dalam menyuarakan gagasan. Kami juga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber saya alam di wilayah kami, termasuk dalam persoalan PT Freeport Indonesia" (CNN Indonesia, 2017).

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan