Tribunners / Citizen Journalism
Kopi Sebagai Primadona Ekspor dan Ikon Indonesia
Hampir semua wilayah Indonesia menghasilkan kopi dengan beragam varitas dan rasa. Lantas mengapa kita masih jauh di belakang Brasil
Oleh Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya
TRIBUNNEWS.COM,WELLINGTON- Hampir semua wilayah Indonesia menghasilkan kopi dengan beragam varitas dan rasa. Lantas mengapa kita masih jauh di belakang Brasil, Colombia dan Vietnam?
Sebagai Duta Besar Republik Indoensia untuk Selandia Baru, saya tinggal di Wellington, kota yang mayoritas penduduknya peminum kopi berkualitas tinggi. Mereka bisa kita jadikan rujukan.
Penduduk Wellington biasa menghabiskan 3-4 cangkir kopi per hari. Per cangkirnya Rp 40.000 setara dengan segelas anggur. Tidaklah aneh jika jumlah cafe per kapita di kota ini lebih tinggi dari di New York City.
Orang Selandia Baru bisa disebut sebagai penikmat kopi premium yang berasal dari biji kopi terbaik dari banyak negara yang diracik oleh Barista, peracik kopi bersetifikat. Sekolah barista banyak terdapat di Selandia Baru karena peminatnya yang terus meningkat.
Barista adalah salah satu profesi yang pendapatannya tinggi, antara 30-40 juta perbulan. Tingginya selera orang Selandia Baru, membuat warung kopi asal Amerika seperti Starbuck dan Coffeebeans sulit survive alias banyak yang gulung tikar.
Sebaliknya warung-warung kopi kecil dengan kopi yang maknyus, menjamur dimana-mana.Dimana kopi Indonesia? Kita masih jauh tertinggal dibelakang Brasil, Colombia, Vietnam dan negara-negara di Amerika tengah seperti Nikaragua, Guatemala dan Honduras.
Kopi dari negara-negara ini unggul baik sebagai pencampur maupun sebagai single origin. Kopi yang digemari adalah gabungan dari berbagai biji kopi dari berbagai belahan dunia yang dicampur menjadi satu.
Persis seperti cerutu terbaik yang terbuat dari berbagai daun tembakau dari berbagai belahan dunia. Masing-masing menyumbang cita rasa. Berbagai biji kopi tersebut dicampur dan diracik oleh seorang Roaster dalam rangka menciptakan flavour tertentu.
Cita rasa kopi Indonesia khususnya Mandailing dan Jawa Barat disukai dan mulai mendapatkan tempat sebagai pencampur karena keharumannya.Mengapa kopi kita tertinggal? Penyebab utamanya cara kita menikmati kopi yang berbeda dari masyarakat dunia.
Ini berdampak pada proses pengadaan kopi. Pada tataran dibawah, masyarakat kita penikmat kopi hitam dengan gula yang banyak dan kopi 3 in 1 yang murah meriah.
Di tataran atas, yang digandrungi adalah kopi yang bercampur dengan susu dan berbagai sirup. Hanya sedikit penikmat kopi murni seperti ekspreso, machiato, Americano dll yang isinya kopi murni.
Tradisi ini membuat proses terhidangnya kopi dari mulai panen, pengeringan, roasting sampai dengan pembuatannya tidak memenuhi standar internasional. Tidak ada yang salah dengan cara kita menikmati kopi karena sudah turun temurun dan nikmat rasanya.
Tapi jika kita ingin masuk pasar dunia, proses dari hulu ke hilir harus dirubah. Kopi yang dipetik muda atau hijau akan menghadirkan rasa asam yang kuat.
Biji Kopi yang dikeringkan tidak dengan proses dan panas tertentu (di Sumatera dulu biji kopi dihampar di tengah jalan untuk dilindas mobil) akan menghasilkan biji kopi yang tidak terima oleh pasar.
Itu dua dari banyak contoh dari tradisi kopi kita yg harus dirubah. Sekali lagi kita perlu melakukan perubahan jika ingin masuk pasar dunia spt kopi Vietnam.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.